728x90 AdSpace

  • Latest News

    17 May 2010

    Reading Groups Minggu Ke-8 Novel Max Havelaar



    Oleh Muchtar Ubaidilah

    Tengah hari lebih sedikit kira-kira pukul setengah satu aku pulangkan siswa kelas tujuh dan delapan. Sejak pukul setengah dua belas tiga orang teman guru sudah pulang. Bu Iis, Bu Dian, dan Pak Aang namanya. Kini aku tinggal sendirian. Jam terakhirku di kelas tujuh. Dua jam terakhir hari ini aku meminta anak-anak untuk menulis halus. Menuliskan peribahasa "Gajah mati di pelupuk mata tak kelihatan, semut mati di seberang lautan terlihat jelas". Beberapa anak-anak kelas tujuh memang senang menulis halus. Aku mengetahuinya setelah satu tahun ini kuperhatikan. Mereka suka ketika dua jam terakhir hari Selasa seperti kali ini tiba. Mereka memintaku untuk menulis halus. Maka menulis halus di hari Selasa ini menjadi kegiatan rutin. Aku selalu menyiapkan penggaris kayu. Penggaris kayu itu kugunakan untuk membuat enam garis di papan tulis. Jika aku lupa, anak-anak kelas tujuh selalu mengingatkanku. "Pak, menulis halus!"

    Saat mereka menulis halus, aku merasa mereka lebih tenang. Kini tulisan mereka makin bagus. Tangan mereka lebih terampil. Aku yakin mereka akan belajar lebih bersabar. Aku meminta mereka untuk menuliskan peribahasa tersebut lima kali banyaknya dan satu kali untuk artinya. Sebagian dari mereka sudah memiliki buku tulis sambung sementara lainnya belum. Bagi yang belum memiliki mereka dengan suka rela membuat garis-garis terlebih dahulu. Mereka dengan senang hati melakukannya. Mereka suka menulis halus.

    Langit di atas sekolah cerah. Namun tidak dibagian yang lain. Kulihat mendung menggelayut. Awan gelap menunggu turun. Gunung Menir di belakang sekolah tertutup kabut. Anak-anak kelas delapan gelisah. Aliyudin dan Pendi nongol di pintu kelas tujuh. "Pak, pulang!" Aku mengangguk pelan. Aku menuju kelas delapan yang hanya dipisah dengan pintu. Kelas tujuh dan delapan disambungkan dengan pintu. Aku sering mengajar di dua kelas secara bersamaan. Jadi aku bisa bolak-balik di antara kelas tersebut. Anak-anak kelas delapan membaca doa. Doa sebelum yang dibacanya pernah kuajarkan waktu bulan puasa tahun lalu. Waktu itu ada semacam pesantren Ramadhan. Waktu itu aku mengisinya. Aku juga mengajarkan doa. Doa yang dibaca menjelang pulang sekolah. Aku menunggu mereka berdoa. Mereka membaca surat Al-Ashr lalu membaca doa untuk kedua orang tua lalu membaca doa bepergian dan membaca doa akhir pertemuan. Aku menuju pintu dan memberikan tangan. Mereka ingin segera pulang. Sejak pukul enam atau tujuh pagi perut mereka tak diisi makan atau minum. Aku pernah meminta mereka membawa bekal makan atau minum. Namun tidak semua melaksanakannya. Mereka memang terbiasa. Tapi aku terus mengingatkan. Sebagian kini kulihat ada yang membawa bekal makan dan minum.

    Kelas delapan sudah pulang. Aku kembali ke kelas tujuh. Mereka sudah selesai menulis halus. Aku meminta mereka untuk menunjukkan hasil pekerjaannya. Setelah terkumpul mereka membaca doa. Doa sebelum pulang. Doa yang sama yang dibaca kelas delapan. Kelas tujuh sudah pulang. Maman bertanya padaku, "Pak hari ini ada reading?" Kuiyakan pertanyaan Maman.

    Aku menuju warung teh Piah. Letaknya lebih tinggi dari sekolah. Menuju warungnya berarti melewati gedung SD dan lapang sepak bola. Warungnya terletak di atas lapang sepak bola. Aku meminta digorengkan telur. Kulihat teh Piah kesulitan sebab sedang menggendong Lena, anaknya yang sedang rewel. Topik, kakanya Lena melayani anak-anak kecil yang membeli makanan kecil. Topik tahun ini lulus SMP. Aku meminta untuk menggoreng telur sendiri. Aku terbiasa melakukannya. Maka kuambil penggorengan dan kunyalakan tungku perapian. Kumasukan potongan kardus dan nyala api pun mengenai kayu. Asap mengepul dari tungku tanah. Asapnya terkadang menyesakkan napas. Aku duduk di atas bale-bale bambu. Rumah Topik seperti rumah-rumah kebanyakan. Beratap kirai beralas bambu berdinding bambu juga. Aku menyiapkan telur dan mengocoknya di mangkuk. Kugoreng telur. Aku makan ditemani Topik. Topik Ahyani nama lengkapnya.

    Langit makin gelap kulihat. Tanda hujan lebat akan turun. Guru-guru SD tidak ada di tempat. Biasanya aku melihat ada guru SD yang tinggal. Hari ini tidak ada. Gedung SD dan SMP berdampingan. Gedung SD letaknya lebih tinggi daripada gedung SMP. Tadi sehabis makan aku minta dua liter bensin. Bensin ini akan kupakai untuk menyalakan mesin genset. Mesin genset disimpan di gudang. Gudang letaknya dekat lapang sepak bola. Selain genset di gudang juga disimpan alat-alat peraga sains. Sayang alat-alat peraga ini belum pernah dipakai.

    Kutarik tali untuk menjalankan genset. Genset menyala. Bau asap mesin memenuhi ruangan. Ruangan yang tidak terlalu besar ini. Aku menutup pintu gudang setelah menyambungkan genset dengan instalasi yang menghubungkan ke ruang guru. Suara gemuruh terdengar dari Gunung Menir. Kulihat di atas Gunung Menair begitu gelap. Hujan deras bergemuruh. Kupercepat langkah menuju ruang guru. Di sini aku sendiri. Menyalakan laptop dan menyambungkannya dengan gunungan kabel yang tertancap pada stopkontak. Aku memulai menulis saat hujan tiba di atas ruangan. Suaranya bergemuruh. Hujan dibarengi angin yang bertiup kencang. Aku mengambil ember. Ember kusimpan untuk menampung air. Tadi sebelum kunyalakan genset aku sempat ke kamar mandi dan tidak ada air. Aku mengambil air wudhu dari ember bekas cat. Aku bertemu Tuhan di samping meja-meja.

    Kulanjutkan menulis. Aku sedang menyelesaikan catatan reading groups minggu ketujuh. Aku berencana menyimpannya di blog reading multatuli. Aku ingin menyelesaikannya hari ini sebab besok saat aku turun gunung aku akan mampir di warnet di Cipanas. Hujan masih turun dengan deras. Deru angin masih kudengar. Aku menyelesaikan tulisan. Langit gelap. Kini pukul dua siang tapi rasnya hendak malam saja. Aku teringat dua jam ke depan harus reading namun hujan belum juga reda. Aku akan menunggu hingga hujan reda. Aku tak yakin jika harus memaksa pulang. Dari sekolah menuju Taman Baca Multatuli sekitar satu kilometer jauhnya. Melawati sawah dan kebun. Aku harus membawa dua tas. Maka kuteruskan menulis. Pegal menulis, aku memeriksa tulisan halus anak-anak kelas tujuh.

    Jam di dinding menunjukkan pukul tiga. Hujan belum juga reda. Kututup laptop. Kuberlari ke gudang. Kumatikan genset. Aku kembali ke ruang guru. Kugelar karpet. Aku ingin tidur sebentar sambil menunggu hujan reda. Namun serasa makin deras saja. Butiran hujan menimpa genting. Aku tertidur namun dalam tidurku tidak nyenyak. Aku selalu terbangun.

    Air hujan tak lagi menimpa genting. Kulihat dari jendela. Hujan sudah tidak lagi turun. Hujan telah reda. Aku bereskan karpet dan bantal. Bantal yang sudah tidak berupa. Kurapihak juga laptop. Laptop milik sekolah. Kupastikan ruang guru terkunci. Klik, gembok kurapatkan. Ruangan ini memang tidak memiliki kunci. Hanya gembok kecil. Sepi di luar. Sepi sekali. Di depan sekolah air menggenang bercampur dengan lumpur merah. Kususuri jalan pulang. Jalan menuju kampung Ciseel. Menuju Taman Baca Multatuli. Di depan MI Al Hidayah kulihat Jajat, Pepen, dan beberapa anak bermain lumpur. Seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur. Tampak kambing-kambing sedang merumput. Mereka bermain lumpur sambil menggembala kambing. Di pinggir jalan ada tumpukan kayu bayu bakar. Kayu bakar yang akan mereka bawa pulang. Pepen dan Jajat menggiring kambingnya pulang. Bau bunga kecubung menyeruak di pinggir jalan. Di pinggir hutan kudengar suara air bergemuruh. Di sawah kudengar suara mendentum. Ternyata suara itu berasal dari kaleng yang terpukul saat air penuh. Air dari pancuran yang mengarah ke sawah. Bunyinya, Tung...Tung...Tung....

    Pepen membersihkan badan di pancuran di pinggir jalan. Aku meninggalkannya. Tiba di Taman Baca Multatuli kusimpan dua tas yang tadi bertengger di punggung dan di pinggang. Kubersihakan badan dan Ashar. Kulihat jam di dinding rumah kang Syarif di ruang sebelah menunjukan pukul setengah empat. Aku menuju rumah Pak Buhadi. Aku menuju ke rumahnya untuk mengambil tudung cetok (caping). Pak Buhadi pintar membuat anyaman-anyaman dari bambu. Di rumah Pak Buhadi aku diberi air nira yang diambilnya dari wajan besar. Rasanya manis berbau asap. Ia juga menunjukan cetakan gula merah.
    Di Taman Baca Multatuli sudah banyak yang datang. Novel Max Havelaar sudah di tangan mereka. Kusampaikan terima kasih atas kehadirannya. Pepen yang tadi berbalut lumpur sudah bersih. Pipih, Sumi, dan Anisah wangi sekali. Mereka rajin mengikuti reading Max Havelaar. Aliyudin, Andi, Pendi, Sanadi, Nurdiyanta, Herman, Maman, Ajis, Dede, dan dua anak lainnya sudah memegang novel. Aku memegang satu. Minggu ini kami berenam belas akan menyelesaikan bab 6. Aku mengulang pembacaan minggu sebelumnya. Aku sekedar mengingatkan saja. Pendi terus memainkan caping kuminta untuk lebih fokus. Kumulai pembacaan bagian yang mengisahkan kehidupan Havelaar di Lebak.

    "Dengan sopan dia mengulurkan tangannya pada seorang wanita, untuk membantu dia turun dari kereta; dan ketika wanita telah mengambil seorang anak, bocah kecil berambut lurus berusia sekitar tiga tahun, dari seorang laki-laki yang masih duduk di dalam, mereka memasuki pendopo. Setelah mereka turunlah pria kedua yang baru saja diceritakan, dan orang-orang yang cukup mengetahui Jawa akan menyadari adanya keanehan dari fakta bahwa, dia menunggu di pintu kereta untuk membantu seorang babu tua Jawa ke luar. Sementara, tiga pembantu lainnya telah melepaskan diri dari lemari kulit mengkilat yang  terikat di belakang kereta seperti tiram muda di punggung ibunya." (Hal. 97-98)

    Aku akan katakan bahwa saat menulis catatan ini aku mengalami kesulitan. Entah apa yang sedang terjadi padaku. Tapi aku akan berusaha melanjutkannya.
    Setelah membaca paragraf tersebut aku menyadari bahwa kereta yang mereka tumpangi ternyata ada gandengannya. Aku katakan pada para peserta. Bocak kecil yang dimaksud tentunya adalah Max Kecil. Dalam kehidupan sesungguhnya bernama Edu.
    Kulanjutkan pembacaan. Paragraf berikutnya menyatakan bahwa yang turun pertama dari kereta itu tidak lain adalah Tuan Slymering, Residen Banten, daerah luas di mana Lebaj menjadi divisinya, kabupaten, atau, secara resmi disebut Asisten Residensi. Paragraf selanjutnya menceritakan ketidak sukaan penulis terhadap banyak penulis yang sering tidak hormat terhadap selera para pembaca. Hal ini terutama saat mereka mau menampilkan sesuatu yang menghibur dan merupakan parodi, bukannya lucu, sebuah kelebihan yang sering membuat orang bingung membedakannya dengan jenaka dalam bentuk terburuk.

    Beberapa kalimat aku jelaskan. Di paragraf ini para peserta bertanya sebab banyak kata-kata yang tidak dipahaminya. Kata-kata tersebut seperti: parodi, lucu, jenaka, komedi, idiot, lelucon, retorika. Aku menjelaskan kata-kata tersebut. Selanjutnya kubaca paragraf panjang yang menjelaskan tentang cara berbicaranya Tuan Slymering. Tuan Slymering yang saat berbicara terlihat ganjil. Gaya bicara residen ini seperti menjilat.
    Paragraf selanjutnya paragraf yang juga panjang. Paragraf yang mendeskripsikan Ny. Havelaar. Ny. Havelaar (Tine) digambarkan sebagai sosok yang tidak cantik, namun caranya memandang dan berbicara memiliki sesuatu yang sangat menyenangkan. Sikapnya tidak menunjukan kejumawaan. Ia santai namun tidak kaku saat masuk ke dalam kelompok para petinggi. Dia bukan seperti sikap sopan kelas menengah yang kaku dan tidak mengenakkan. Di deskripsikan juga caranya berpakaian dengan panjang lebar. Ia mengenakan pakaian sederhana. Baju dari kain muslin putih, dengan korset biru. Pakaian ini di Eropa disebut peignioir. Peignoir adalah pakaian bepergian. Di lehernya terbelit pita sutra tipis yang terhubung dengan dua liontin kecil. Rambutnya ditata ala chinoise (gaya Cina) dengan setangkai melati di kondenya.
    Wah, deskripsi yang bagus! Peserta menanyakan kata-kata seperti liontin, ala, dan konde. Aku menjelaskannya. Selanjutnya deskripsi yang panjang tentang Havelaar. Ya, Havelaar Asisten Residen Lebak yang baru. Havelaar dideskripsikan sebagai pria berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya langsing dan gerakannya cepat.
    Sudah aku katakan aku kesulitan menulis catatan ini. Catatan reading groups minggu ke delapan novel Max Havelaar, Selasa, 11 Mei 2010. Maka aku memohon maaf jika catatan ini aku tutup sampai di sini. Aku ingin melanjutkannya di lain waktu. Aku berjanji. Jika aku lupa mohon pembaca mengingatkannya. Aku tidak tahu sepertinya ada yang membelenggu kepalaku. Aku mohon maaf.


           

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Reading Groups Minggu Ke-8 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top