728x90 AdSpace

  • Latest News

    12 May 2010

    Reading Groups Minggu Ketujuh Max Havelaar



    Oleh Ubaidilah Muchtar

    Menunggu adalah hal yang melelahkan. (Multatuli)

    Aku berada di bus menuju TIM. Membaca novel dengan lampu temaram. Mendengar nyanyian dari pengamen yang silih berganti muncul. Menyanyikan lagu yang tak lagi kuingat syairnya. Kadang terdengar suara klakson ditekan supir. Aku duduk di kursi kedua di belakang supir. Di depanku seorang ibu menggendong anak kecil yang sejak dari tadi menangis. Aku tenggelam dalam novel yang kupegang.
    Hari ini hari Kamis. Hari terakhir anak-anak usia SD melaksanakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional atau yang biasa disebut UASBN. Aku berharap semoga semua dapat menjawab soal-soal yang diujikan dengan baik. Aku memang kurang setuju dengan pola ujian seperti ini. Tapi aku tidak akan membicarakan masalah ini. Sebab aku tidak sedang ingin membicarakan ujian. Aku meninggalkan sekolah yang terletak di kawasan Cibubur. Sebenarnya lebih tepat dikatakan di Nagrak daripada Cibubur sebab terlalu jauh dari Cibubur. Tapi tak apa. Aku meninggalkan sekolah sekira pukul dua siang. Mampir sebentar ke bengkel untuk mengganti salah satu spare parts.
    Selepas dari bengkel aku bergegas menuju Ciputat. Jalanan menuju Ciputat melewati Pasar Rebo macet. Di bengkel aku memastikan bahwa aku akan menuju TIM pukul empat sore ini. Tiba di Ciputat aku mendapat kabar bahwa istriku sudah tiba di rumah. Ia pulang lebih cepat. Mungkin terlalu lama menungguku. Aku melanjutkan perjalanan menuju rumah.
    Sebenarnya aku janji akan ke TIM pukul empat atau pukul lima. Namun pekerjaan rumah tidak juga selesai. Pukul lima sudah lewat. Aku membantu istriku di rumah. Kami berbagi pekerjaan. Kami saling memahami. Maghrib tiba semua pekerjaan usai. Setengah tujuh aku meninggalkan rumah. Istriku berpesan agar aku hati-hati di jalan. Aku berjalan. Berjalan sebentar ke jalan besar. Malam yang dingin pikirku. Angin bertiup seolah hendak menjauhkan hujan. Huja tak juga turun. Langit mendung. Aku menuju Ciputat dengan angkot. Jalan tak terlalu padat. Para pengendara berbagi jalan dengan pengguna yang lain. Aku tiba di Ciputat. Bus Ciputat jurusan Senen sudah tidak ada. Di bawah jembatan layang aku menghentikan angkot jurusan Pondok Labu. Aku akan ke Lebak Bulus. Aku yakin di Lebak Bulus masih ada angkutan yang akan mengantarku ke Cikini.
    "Wah, kamu beruntung!" kata supir angkot D02 jurusan Pondok Labu yang kunaiki. Aku memang beruntung, tepat di Pasar Jumat aku melihat bus 76. Bus yang aku maksud. Bus yang akan mengantarku ke Cikini. Aku berhenti di pertigaan Pondok Pinang. Kubayar ongkos angkot. Kuhentikan bus. Aku naik bus.
    Kini aku telah berada di depan bioskop Gandaria. Di bawah rel kereta api. Kususuri jalan Cikini Raya. Aku teringat beberapa tahun yang lalu. Aku pernah berjalan kaki menuju TIM dari Menteng. Tapi dugaanku salah. Ternyata dari perempatan Gandaria menuju TIM tidak sedekat yang kubayangkan. Namun aku menikmatinya. Di kanan jalan sepanjang pinggiran jalan banyak berjejer pedagang. Ada pecel lele, bubur ayam, mi ayam, bebek goring, dan masih banyak yang lainnya. Perutku minta diisi. Di depan stasiun kereta api Cikini. Banyak orang memasuki warung. Ya, warung nasi. Tapi warung nasi apa pikirku. Kulihat warung nasi Sederhana 2. Kulihat warung nasi Sederhana 2. Ingatanku tiba-tiba pergi ke Bandung. Di samping terminal ledeng ada juga warung nasi Sederhana. Dan jika tidak salah di Jalan Soekarno Hatta di Bandung juga ada warung nasi ini. Aku mengambil nasi. Kutanya pelayan di sana. Aku menggunakan bahasa Sunda. "Pepes naon eta, kang?". Pelayan di warung nasi itu hampir seluruhnya laki-laki kecuali yang menerima pembayaran. Mungkin jika perempuan memegang keuangan akan lebih tertib, pikirku. Ada pepes jamur, pepes ayam, pepes ikan, pepes tahu, dan pepes teri. Salah seorang pelayan menjelaskan. Aku mengambil pepes tahu dan ayam. Kuminta sayur asem. Di meja sudah ada sambal dan lalaban. Aku makan sendiri.
    Pukul 20.15 aku tiba di gerbang Taman Ismail Marzuki. Kutanya petugas yang jaga. Kutanya di mana kantin berada. Aku diberi tahu untuk terus masuk. Kuikuti petunjuk yang diberikan. Aku menuju salah satu bangunan. Ternyata itu kafe. Aku dipersilakan masuk. Aku tak menemukan yang kucari. Aku diberitahu untuk mencari ke tempat sebelah. Di tempat sebelah pun tak kutemukan. Maka kulanjutkan berjalan lebih ke dalam. Kulihat yang kucari ada di sana. Ya, malam ini aku berjanji akan menjemput Mas Sigit. Namanya Sigit Susanto. Ia akan mengunjungi Taman Baca Multatuli.
    Di kantin itu ada Mas Akmal, Mbak Oci, Mbak Ita, Mas Opang, Mbak Eci, dan dua orang temannya Mas Opang dari 1n3b.org. Aku mohon maaf sebab aku benar-benar lupa namanya. Kusampaikan permohonan maaf pada Mas Sigit. Permohonan maaf karena aku tak pergi sesuai janji. Malam merambat di bangku-bangku, di pohon-pohon, di taman, di aspal jalan, di buku-buku. Pukul sebelas kurang lima belas aku dan Mas Sigit meninggalkan TIM menuju Sawangan.
    Subuh, aku terbangun. Istriku sedang di dapur. Memanggang roti dan menyeduh teh manis. Semalam ketika kami tiba istriku sudah lelap tertidur. Aku lekas menyelesaikan semua kebutuhan. Mas Sigit pun demikian. Sebelum berangkat kunikmati roti panggang isi coklat dan teh manis buatan istriku. Pukul setengah enam aku meninggalkan rumah. Istriku membawakan bekal untukku. Sekotak sale pisang kering dan sebungkus biskuit rasa kopi. Kumasukkan bekal dari sitriku. Kusampaikan terima kasih. Istriku mengantar sampai pintu gerbang rumah. Udara masih dingin. Aku menyusuri jalan yang sama. Jalan yang biasa kulalui setiap Senin pagi. Mengendarai motor yang sama. Di belakangku bukan kotak plastik ukuran 60 liter melainkan Mas Sigit. Aku mengenakan helm putih Mas Sigit helm warna biru. Kami melewati pertigaan sawangan. Lurus ke Parung. Berbelok di Pasar parung. Lurus menuju Ciseeng. Belok kanan menuju Rumpin. Lurus hingga sampai di Leuwiliang. Dari Leuwiliang lurus menuju Jasinga. Di pertigaan Kadaka/Bunar berhenti untuk sarapan. Menuku sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Nasi uduk, telur bulat, sayur, dan gorengan. Sementara Mas sigit menikmati lontong sayur.
    Pukul 09.15 kami tiba di Ciseel. Di jalan kami bertemu Rusman. Ia muridku di SMP. Hari ini pengumuman kelulusan SMP. Rusman motornya rusak. Kuberikan kunci busi. Ia memintaku untuk terus melanjutkan perjalanan. Aku melewati Cangkeutuek. Cangkeuteuk, kampung terakhir dengan jalan berbatu, kampong terakhir berpenerang listrik Negara. Selepas Cangkeuteuk jalanan diisi tanah merah. Di jalan aku lihat Sukra dan Udin. Mereka sama dengan Rusman baru pulang membeli semen. Setiap motor membawa dua sak semen. Di perjalanan, Mas Sigit sering turun dari motor. Penyebabnya tak lain sebab jalan yang kami lalui harus melalui tanjakan tajam dan turunan curam. Di kiri jurang di kanan tebing. Jalan setapak di tengah hutan.
    Tiba di Ciseel, aku berkemas harus ke sekolah. Mas Sigit kutinggalkan di rumah. Hari ini aku agak gugup. Sampai di sekolah dugaanku terbukti. Dari dua puluh anak satu terpaksa harus mengulang. Tapi tak mengapa. Sebab hampir di semua sekolah hal yang serupa ada.
    Selepas shalat Jumat, di Taman Baca Multatuli kawan-kawanku yang mengajar di SMP berkumpul. Kepala sekolah juga ada. Mas Sigit ditanyai banyak hal tentang Swiss dan negara lainnya. Tentang sistem pendidikan, keuangan, pekerjaan, mata pencaharian, ongkos jika liburan ke Swiss, bahasa nasional, dan segala hal tentang Swiss. Juga tentang pengalaman-pengalamannya. Di sana ada Pak Abduh, Pak Dadang, Pak Ace, Pak Aang, dan Pak Didik. Salah satu pembicaraan berisi bahwa di Swiss anak-anak usia SD di bagian dadanya digantungi semacam palang mirip selendang yang jika terkena sinar lampu akan menyala. Selain itu Mas Sigit juga menjelaskan bahwa di Swiss tidak ada bahasa Nasional. Jadi jika wilayahnya lebih dekat dengan Jerman, maka menggunakan bahasa Jerman. Jika wilayahnya dekat dengan Itali menggunakan bahasa Italia. Di Swiss juga ada wajib militer. Dan banyak lagi pembicaraan kami siang itu.
    Pukul setengah tiga, aku mengajak Mas Sigit berkeliling kampung. Kuajak dia mengunjungi SMP yang ada di kampung sebelah, Kampung Cigaclung. Kuajak ia melihat kondisi masyarakat di sana. Ada leuit (tempat penyimpanan padi), ada lapangan sepak bola, ada ibu penggembala kerbau, dan lainnya. Dari Cigaclung aku kembali ke Ciseel. Jalanku tak lagi melewati jalan yang sama. Aku melintasi rumah Pak Samanan. Pak Samanan sedang menumbuk kopi. Menumbuk kopi di lulumpang (lesung kecil). Anaknya Sarta dan dua adiknya sedang bermain layang-layang. Saudara perempuannya sedang menanak nasi. Rumahnya panggung. Temboknya terbuat dari bilik, anyaman bambu. Lantainya juga bambu. Atapnya ijuk. Aku mengambil beberapa foto. Pak Samanan sedang menumbuk kopi untuk membuang kulitnya. Aku dan Mas Sigit bergantian bertanya. Kami melanjutkan perjalanan. Di Ciseel banyak rumah model seperti rumah Pak Samanan. Di kolong rumahnya, mereka memelihara ayam atau entog.
    Di depan Taman Baca Multatuli, Ibu Warni juga sedang menumbuk kopi. Kami berjalan ke bawah. Aku mengajak Mas Sigit ke rumahnya Pak Buhadi. Pak Buhadi pembuat caping di Ciseel. Capingnya buatannya bagus. Selain caping, ia juga dapat membuat benda-benda lain dari bambu. Semisal aseupan (kerucut), nyiru, boboko, said, dan enatah apa lagi. Aku tahu bentuknya namun tak tahu namanya. Lebih tepat lupa namanya. Kami tiba di rumah Pak Buhadi. Aku bertanya kepada istrinya. Aku bertanya caping pesananku. Istri Pak Buhadi menunjukkan caping pesananku. Namun tepiannya belum diwengku (diberi lis). Kami disuguhi lahang (air nira). Aku meminumnya. Mas Sigit pun mencicipinya.
    Kami kembali ke Taman Baca Multatuli. Di jalan sebentar kulihat ada ibu-ibu sedang menumbuk kopi. Menumbuk kopi yang sudah jadi. Kopi ditumbuk di lesung kecil dari batu. Kopi disaring menggunakan saringan kecil. Kami mampir sebentar ke rumah Pak Barnas. Pak Barnas guru SD asli penduduk Ciseel. Pak Barnas orang berhasil. Sebab ia satu-satunya yang menjadi Amtenaar (pegawai negeri) di Ciseel.
    Pukul empat tepat. Kami akan melaksanakan Reading Groups Max Havelaar Minggu Ketujuh. Sanadi datang lebih awal. Sanadi adalah putra dari Pak Buhadi. Sanadi membaca majalah. Aku mempersiapkan novel Max Havelaar. Sanadi ikut membantu. Kami menurunkan semua novel. Dua puluh jumlahnya. Novel yang kami baca terbitan Narasi tahun 2008. Novel terbitan Djambatan yang lima buah jumlahnya sering kami buka jika ada yang mau kami perbandingkan. Kami akan memasuki Bab 6. Bab 6 dari 20 Bab yang ada dalam novel Max Havelaar. Novel yang ditulis 150 tahun yang lalu oleh Multatuli. Novel yang berisi kritik terhadap perilaku penjajah. Sekaligus kritik terhadap perilaku para pejabat pribumi yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
    Aku membuka reading groups dengan memperkenalkan Mas Sigit. Kuminta Mas Sigit untuk memperkenalkan diri. Mas Sigit mengenalkan diri. Para peserta mendengarkan. Sebelum memperkenalkan diri, Mas Sigit bermain sulap. Sulapnya berupa buku. Buku yang jika dibuka terkadang isinya kosong, terkadang berisi sketsa binatang, dan terkadang sketsa binatang tersebut sudah diwarnai. Peserta terlihat senang. Semua tertawa riang. Semua penasaran. Bahkan ketika ada peserta yang baru datang, Mas Sigit mengulangi sulapannya. Mas Sigit lalu memperkenalkan diri. Ia  memulai dengan mengenalkan nama dan asal. Kemudian ia bercerita tentang reading groups. Menurutnya, ia pernah mengikuti reading groups seperti ini di Zurich. Novel yang dibacanya Ulysse. Ia menunjukkan bab Ulysses dibaca selama tiga tahun dalam bukunya, Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2. Ia berpendapat bahwa Reading Groups Max Havelaar mungkin satu-satunya dan yang pertama yang ada di Indonesia. Kami mendengarkan. Aku sempat tak menyangka ketika Mas Sigit lalu menjelaskan agar para peserta pandai-pandai membagi waktu dan merayu orang tua. Ia berkata agar jangan sampai orang tua terutama para ibu mengeluhkan sebab anak-anaknya ikut reading groups dan tidak tuntas membantu orang tua. Aku mungkin sering lupa akan hal itu. Mereka adalah anak-anak petani miskin yang tenaganya sangat dibutuhkan di rumah. Pulang sekolah mereka menggembalakan kambing atau kerbau. Jika tak menggembala mereka mencari kayu bakar. Anak perempuannya memasak, mengambil air, dan mencuci. Mas Sigit lalu menyemangati agar para peserta terus menyelesaikan reading hingga tuntas. "Kalian mungkin pernah merasa bosan membaca, maka nanti Ubay selingan membaca yang bahasa Sundanya," terangnya. Aku mengambil buku yang dimaksud. Aku menunjukkan kepada peserta. Mas Sigit memintaku membaca beberapa paragraf dari buku tersebut.
    Aku membaca beberapa paragraf dari buku "Saija" yang berbahasa Sunda. Ini bagian yang aku baca.
    "Maung, maung!" ceuk adi-adina Ina pating jarerit, "lumpat Saija, eta aya maung dina ruyuk!"
    Sakabeh barudak ngudar pasangan keclak narumpakan mundingna, tuluy dilumpatkeun sakalumpat-lampet, mapay sawah jeung galengan, bebelesekan dina leutak, ngambah kana bubulak, sampalan, tegal eurih, nobros ka leuweung ganggong, tuluy meuntas walungan, blas ka jalan ronda. Barang maranehna geus luut-leet kesang jol anjog ka lemburna, Desa Badur, kakara kanyahoan, yen Saija henteu aya, henteu bareng jeung maranehna ….
    Sabab, Saija the kaburu ngudar pasangan, karepna rek lumpat nyingkahan bahla, cara barudak sejen; tapi barang manehna mancal, mundingna ngabelesat manten luncat, atuh manehna tikosewad, tibeubeut kanat taneuh. Maung luncat tina ruyuk rek ngarontok ka budak nangkarak, nu keur nunggu … ajalna.
    Kumaha peta munding teh? (Saija, hal. 30-31)
    Kutanya para peserta apakah mereka paham. Mereka mengakui paham dengan bahasa Sunda dalam buku "Saija" ini. "Saija" merupakan terjemahan dari Bab 17 novel Max Havelaar. Diterjemahkan oleh R.T.A. Sunarya tahun 1932. Buku ini aku dapatkan dari seorang kawan yang bekerja di Cornel University. Ia baik hati menyeken halaman demi halaman buku tersebut. Jumlahnya 65 halaman. Lalu aku memprin dan menjilidnya. Kubuatkan dua untuk saat ini. Kusimpan di Taman Baca Multatuli.  
    Kami memulai reading groups Max Havelaar. Aku bertanya pada peserta tentang isi bab 5 yang dibaca minggu lalu. Pepen menjawab, "Bab 5 yang dibaca minggu kemarin bercerita tentang asal-muasal gaji para bupati dan perilaku bupati yang sering memanfaatkan tenaga rakyat dan mengambil benda-benda atau hewan peliharaan rakyatnya." Aku mengiyakan dan kutambahkan sedikit tentang kesulitan dalam membongkar kasus penyalahgunaan kekuasaan bupati tersebut.
    Aku lalu membaca paragraf pertama. Peserta mendengarkan. Paragraf pertama menceritakan sikap dan kebiasaan pengawas Verbrugge. Secara umum sifatnya baik. Akan tetapi ada kalimat yang lalu kami diskusikan. Kalimat tersebut adalah salah satu sifat pengawas Verbrugge, yaitu "Pemalas sepanjang tidak ada yang dikerjakan". Kalimat ini bermakna bahwa pengawas Verbrugge sama seperti kita. Di mana tidak ada yang dikerjakan, maka ia berdiam diri saja. Pengawas Verbrugge memakai seragam katun biru, dengan motif dahan pohon ek—dan jeruk—terbordir di kerah dan lipatan lengan.
    Mas Sigit bertanya tentang pohon eks. Aku sampaikan mungkin pohon ek itu seperti pohon cemara. Mariah bertanya apa itu kerah. Aku menunjuk ke bagian baju yang dikenakan Pepen. Sementara Dedi Kala bertanya kata terbordir. Kusampaikan terbordir artinya tergambar dengan hasil border. Bordir itu menggambar dengan benang.
    Pengawas Verbrugge sedang menunggu kedatangan tamu. Ia duduk di pendopo bersama dengan Adipati Karta Nata Negara. Ia duduk bersebelahan dengan Adipati. Pengawas Verbrugge ditemani dengan dua puluh sampai tiga puluh pembantu orang Jawa. Di sana juga ada mantra dan penjaga yang berjongkok di dalam dan di luar pendopo.
    Mereka sedang menunggu. Menunggu adalah hal yang melelahkan. Seperempat jam serasa satu jam, setengah jam serasa sehari, begitu seterusnya. (hal. 88). Mas Sigit bertanya kepada para peserta. Apakah benar menunggu itu hal yang melelahkan. Peserta ada yang menjawab iya dan ada yang menjawab tidak. Melihat kondisi kampung Ciseel yang sukar dijangkau mungkin menunggu merupakan hal lumrah sebab perjalanan tidak dapat dipastikan. Terkadang sangat cepat tiba. Terkadang mungkin terlambat.
    Pembacaan selanjutnya mengarah pada karakter atau sifat Adipati Karta Nata Negara. Adipati adalah pria tua berpendidikan, yang dapat membicarakan beragam hal dengan kecardasan dan penilaian. Sosoknya tenang. Mata hitamnya yang cerah kontras dengan semangatnya. Rambutnya abu-abu. Bicaranya sedikit. Jika ia bicara harus dianggap sebagai memorandum. Apa yang diucapkannya sudah dipertimbangkan. Seperti karakter umum peranakan oriental. Jarang sekali orang yang sedang berbicara dengannya lalu memotong pembicaraan. Hal tersebut dapat berupa sebuah ketidaksopanan. (hal. 88-89)
    "Kontras itu apa?" Tanya Aliyudin.
    "Kontras itu bertentangan, berlawanan. Mata hitamnya yang cerah bertentangan dengan semangatnya. Matanya cerah sementara semangatnya seumpama rambutnya yang abu-abu penuh uban. Sudah tua." Jawabku.
    "Oriental itu?" Tanya Mas Sigit.
    "Oriental itu maksudnya ketimuran." Jawabku.
    "Memorandum itu apa?" Tanya Pepen.
    Saat menjelaskan kata ini aku terlalu bersemangat. Aku bahkan sampai mencontohkan peristiwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Mas Sigit lalu mengingatkanku bahwa itu referendum. Aku tersadarkan. Aku ulangi bahwa memorandum itu perintah. Berasal dari kata memo. Aku teringat pelajaran di SMP ada tentang menulis memo. Menulis perintah dengan singkat. Maka jika berkata-kata dengan Adipati, ucapannya itu harus dianggap sebagai sebuah perintah.

    Aku membaca paragraf selanjutnya. Paragraf tentang kebiasaan Adipati nyeupah. Nyeupah sejenis kegiatan merokok jaman dahulu. Diterangkan pada paragraf ini bahwa Adipati menyuruh pembantunya membawakan kotak. Kotak yang ternyata berisi perlengkapan nyeupah. Kotaknya berupa kotak emas. Pembantu membawanya dengan berjalan jongkok dan menyerahkan kotak tersebut seperti menyerahkan bendera pusaka saat tujuh belasan di istana negara. Mengangkat kedua belah tangan yang disatukan seperti berdoa ke dahinya yang ditundukkan. Aku mencontohkan gerakan-gerakan tersebut. Isi kotak tersebut ada tembakau, limau, sirih, pinang, dan gambir. Caranya limau diperas di daun sirih, dicampur dengan tembakau dan gambir. Lalu disusurkan ke dalam mulut. Hingga bibir menjadi merah serta giginya menjadi merah kecoklatan.

    Adipati lalu bercakap dengan pengawas Verbrugge tantang jalan yang menghubungkan antara Lebak dan Pandeglang. Regen (Bupati) tak suka dengan perkataan Verbrugge yang mengatakan "Di Pandeglang jalannya tidak begitu buruk." Regen tidak senang jalan di Pandeglang dipuji-puji. Hal tersebut sama dengan mengatakan bahwa Regen telah gagal membangun jalan dengan konstruksi baik di Lebak. Ketika itu Regen membela diri dengan mengatakan bahwa di Pandeglang jumlah penduduknya lebih banyak. Sementara di Lebak penduduknya hanya tujuh puluh ribu jiwa. Ketika berbicara tentang hal itu, mengenai jalan yang dapat menimbulkan perselisihan Verbrugge mengalihkan pembicaraan dengan bertanya pada Mandor Dongso apakah sudah ada yang datang. Saat itu memang ada yang datang. Yang datang adalah komandan Duclari. Letnan Duclari, komandan garnisun kecil di Rangkasbitung. Komandan Duclari pulang setelah berburu kijang. Komadan Duclari berteman baik dengan pengawas Verbrugge. Komandan Duclari berusia sekitar tiga puluh tahunan.

    Komandan Duclari lalu ditawari minuman. Ia ditawari teh. Komandan Duclari meminta santan. Sampai di kalimat ini. Para peserta reading groups berdiskusi. Apa yang dimaksud dengan santan. Rasanya tidak mungkin siang hari meminum santan. Jarang sekali orang yang meminum santan. Aku menjelaskan bahwa yang dimaksud santan di sini adalah air nira (lahang). Air yang didapat dari sadapan pohon Aren. Diskusi selanjutnya seperti juga yang terdapat dalam teks. Yaitu tentang kopi daun. Kami, peserta diskusi tiba di kalimat.

    "Apa? kopi daun, teh yang terbuta dari daun kopi? Seumur hidup belum pernah mendengar hal itu!"
    "Itu karena kau belum pernah bertugas di Sumatra. Di sana itu merupakan hal biasa."
    "Baiklah, kalau begitu, beri saya teh…tapi jangan yang dari kopi daun, juga tidak dari jahe. Tentu saja , kau pernah di Sumatra…dan sang Asisten Residen baru juga pernah, benar?" (Hal. 92)

    Kami berdiskusi tentang apa kira-kira yang dimaksud dengan kopi daun. Hingga kami pun tak menemukan jawabannya. Tapi aku mengira bahwa yang dimaksud dengan kopi daun itu mungkin cingcau. Tapi entahlah. Nanti akan kucari lagi yang lebih yakin.

    Duclari dan Verbrugge berbicara dengan bahasa Belanda. Bahasa yang tidak dipahami oleh Regen. Mungkin Duclari dan Verbrugge punya maksud lain atau karena merasa tidak sopan karena tidak mengikutsertakan Regen dalam pembicaraannya. Selanjutnya Ducalri menggunakan bahasa Melayu. Mereka membicarakan Asisten Residen baru yang akan datang. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Duclari dan Verbrugge lalu berbicara dalam bahasa Belanda lagi. Adipati tidak suka dengan pendapat Verbrugge. Adipati berpikiran bahwa lebih baik bertemu dahulu dengan seseorang sebelum membentuk opini mengenai dia.

    Pepen bertanya arti kata opini. Aku menjelaskan bahwa opini itu pendapat. Pembacaan lalu diteruskan. Aku meneruskan mambaca. Bacaanku tiba pada bagian di mana Duclari dan Verbrugge yang sedang membicarakan Havelaar. Menurut Duclari, Havelaar itu bodoh. Duclari menyarankan agar Verbrugge tidak bertemu dengan Havelaar. Mereka lalu berharap agar Havelaar yang didengarnya ketika di Sumatra kini telah berubah.

    "Kebanyakan dia sudah, tidak diragukan lagi! Dia sudah lebih dewasa sekarang, dan dia telah menikah selama bertahun-tahun, dan seorang Asisten Residen. Lagipula, saya selalu mendengar bahwa dia berbaik hati, dengan sudut hangat untuk keadilan di dalamnya." (Hal. 94)

    Duclari lalu menyampaikan bahwa sesuatu telah terjadi pagi ini di Lebak. Verbrugge lalu meminta Duclari untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tas berburunya. Hal ini mereka lakukan untuk mengelabui Regen. Duclari mengeluarkan sepasang burung dara hutan dari dalam tas berburunya. Mereka beranggapan Regen menyangka mereka sedang membicarakan tentang menembak. Duclari menyampaikan bahwa pagi tadi saat dia sedang berburu ada seorang pribumi (rakyat Lebak) yang mengadu padanya. Katanya apakah Duclari dapat meringankan derita yang dikeluhkan orang-orang. Duclari lalu melanjutkan bahwa dia sudah mengetahui banyak rakyat di Jawa (Lebak) yang menderita. Hanya saja mereka tidak mau dan sangat berhati-hati serta segan terhadap pemimpinnya. Verbrugge lalu bertanya apa jawaban Duclari untuk orang yang mengadu pagi itu. Duclari menjawab bahwa itu bukan urusannya. Duclari malah menyarankan untuk mengadu ke Verbrugge atau ke Asisten Residen baru yang akan datang.

    Reading Groups Max Havelaar Minggu Ketujuh, Jumat 7 Mei 2010 berakhir ketika rombongan datang. Rombongan datang ketika Mandor Dongso berteriak sambil melambaikan tudungnya. Oh iya, di Taman Baca Multatuli ada tudung yang dimaksud. Tudung dengan bentuk piringan bulat besar terbuat dari anyaman. Biasa dipakai untuk berkebun. Melindungi dari matahari dan hujan. Mandor Dongso berteriak bahwa rombongan telah datang. Saat rombongan datang, Komandan Duclari meninggalkan pendopo diikuti pembantunya. Rombongan datang dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda. Kereta kondisinya penuh dengan lumpur. Kereta berhenti di samping pendopo. Pendopo yang terbuat dari kerangka bambu dengan atap daun kirai.

    Mandor Dongso ditemani para pembantu Regen membuka tutup kereta. Mereka melapaskan semua tali dan simpul yang mengikat tutup berupa kain hitam. Tutup kereta itu dimaksudkan agar para penumpang terhindar dari tiupan angin muson barat daya yang mengakibatkan hujan besar. Para penumpang belum turun. Mereka sangat lama saat turun. Maklum mereka berlama-lama di kereta dengan posisi terguncang-guncang dan duduk berdempetan.

    Kami menyudahi reading groups minggu ketujuh ini. Aku mengucapkan terima kasih pada para peserta reading. Minggu ketujuh ini pesertanya luar biasa. Novel kami yang jumlahnya dua puluh buah turun semua. Bahkan beberapa anak membaca dengan berbagi. Kami berkemas. Aku membereskan buku. Siti Alfiah dan Pipih membantu membereskan buku. Gelap telah tiba. Siang hampir berganti malam. Kuminta peserta untuk foto bersama di depan Taman Baca Multatuli. Kuambil foto mereka. Malam telah datang. Aku menutup gorden dan pintu.

    Sehabis Maghrib, Taman Baca Multatuli ramai. Anak-anak yang selesai mengaji datang kembali. Mas Sigit bercerita tentang pengalamannya saat menjadi pemandu wisata di Bali hingga bertemu istrinya. Mas Sigit juga bercerita tentang empat musim yang ada di Eropa lengkap dengan suka duka dan bulan-bulannya. Kami mendengarkan. Kami duduk di luar, di teras rumah. Di luar langit gelap. Kampung gelap. Memang begitu suasana jika malam tiba. Suara binatang seperti jangkrik, tonggeret, air di sungai serta suara-suara binatang yang lain terdengar jelas. Mas Sigit bertanya apakah ada yang pernah ke Jakarta. Semua menjawab belum pernah. Memang anak-anak di sini jangankan ke Jakarta, ke Pasar Cipanas yang jaraknya 20 kilometer juga banyak yang belum. Apa lagi Jakarta atau Rangkasbitung. "Apakah kalian ingin melihat Jakarta?" Mereka menjawab ingin. Tiga puluh menit kemudian, kami berpindah ke dalam. Di dalam, anak-anak ada yang membaca ada juga yang mendengarkan Mas Sigit bercerita tentang pengalamannya ketika naik pesawat. Anak-anak mendengarkan dengan sungguh. Saat ada yang lucu mereka tertawa. Saat ada yang menegangkan mereka berdiam. Mas Sigit lalu bercerita tentang pengalamannya ke Belanda. Persis sama dengan yang ada di Menyusuri Lorong-Lorong Jilid 1. Anak-anak tertawa saat cerita memasuki turis dari Amerika yang tercebur ke sungai karena terus mewawancarai Mas Sigit sambil naik sepeda.

    Selesai bercerita, anak-anak main tebak-tebakan. Caranya dengan menghitung menggunakan kelima jari dari dua orang anak dan satu tangan Mas Sigit. Mas Sigit berhitung dengan urutan huruf. Saat berhenti dihuruf tertentu kedua kelompok yang bersaing harus menyebutkan nama yang disepakati. Baik nama kota, hewan, bunga, atau negara. Contohnya saat hitungan berhenti di huruf "M" setiap kelompok berteriak ada yang menyebut Mawar, ada juga yang menyebut Melati. Setiap kelompok yang tidak bisa menjawab berarti kalah. Kelompok yang kalah harus bernyanyi. Kelompok Pepen dan Aliyudin kalah pertama kali mereka bernyanyi lagu "Potong Bebek". Kelompok Pipih dan Rohanah kalah diputaran kedua. Kelompok mereka bernyanyi lagu wajib nasional. Aku lupa judul lagunya.

    Selesai tebak-tebakan, Mas Sigit main sulap. Sulapnya menghilangkan koin dengan cara ditutup dengan gelas. Semua terbengong-bengong. Namun setelah sekian lama, anak-anak berteriak bahwa mereka tahu rahasianya. Mas Sigit pun memperlihatkan mulut gelas yang ia tutup dengan kertas putih. Jadi saat koin disimpan di atas kertas putih dan ditutup dengan gelas. Seolah-olah koin tersebut menghilang. Semua anak tertawa. Ramai sekali. Hujan mulai turun. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Sebagian anak-anak telah kembali ke rumah. Sebagian yang lain masih bertahan. Mereka yang bertahan membaca buku. Aku makan malam dengan Kang Sarif. Istri Kang Sarif masak jengkol. Ada ikan juga. Ada sambal juga. Pete juga ada. Kami makan dengan nikmat.

    Pukul setengah sepuluh kami bersiap tidur. Kami tidur di tengah rumah. Seperti biasa. Teman-temanku yang menjadi guru pulang tadi siang. Kami hanya berdua. Aku berbincang sebelum tidur dengan Mas Sigit. Kebanyakan kami berbicara tentang sastra. Aku suka sastra. Waktu kuliah aku menjual buku-buku sastra. Aku membaca buku sastra sambil berjualan. Aku mendapatkan buku dari Palasari. Aku mengambil dan menjualnya. Malam merayap di mata kami. Aku bermimpi. Di dalam aku bersedih juga gembira. Novel Max Havelaarku basah kuyup. Aku bersedih. Tetapi di punggung novel yang basah itu tidak ada lem yang ada lempengan keju. Aku gembira.

    Pukul lima subuh aku terbangun. Mas Sigit sudah mandi. Dia yoga sebelum mandi. Aku mandi. Kami berpamitan pukul setengah enam. Aku mengeluarkan motor. Di ujung kampung, ban motorku melindas anak ayam. Jalanan masih gelap. Aku sudah mencoba menjauhkan ayam tersebut. Namun seekor anak ayam tetap terlindas. Mas Sigit menyuruhku berhenti. Ia turun dan mencari anak ayam yang terlindas. Ia angkat badan anak ayam tersebut. Ia simpan di pinggir jalan. Di tepi selokan di atas rumput yang masih basah. Semalam hujan turun dengan lebat.

    Jalan pulang lebih licin. Aku harus berhati-hati. Kami orang pertama yang melewati jalan. Di beberapa bagian jalan Mas Sigit harus turun. Aku tak mengijinkan ia untuk mendorong motorku dari belakang. Jika hal itu terjadi maka badannya akan penuh dengan lumpur. Sebab ban belakang motorku sering selip dan menyemburkan lumpur. Aku berhasil melewati jalan tanah. Dari Cangkeuteuk sampai Pasar Ciminyak jalan berganti batu. Meski licin tapi aku berhasil melewatinya. Sepanjang perjalanan kami berbicara. Berbicara banyak hal. Kami mampir di warung nasi yang kemarin kami mampir. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumahku. Di pertigaan Ciseeng aku berhenti. Kami menyantap mi bakso. Aku minum teh botol. Mas Sigit minta es buah. Pukul setengah sepuluh kami tiba di rumah di Sawangan.

    Empat puluh lima menit dari rumah kami tiba di Terminal Lebak Bulus. Bus yang akan mengantarkan kami ke Bandara Soekarno-Hatta berangkat pukul sebelas lima belas. Di terminal aku membeli Koran. Di koran hari itu, Sabtu, 8 Mei 2010 ada kegiatan Apsas (Apresiasi Sastra) di Jogja minggu sebelumnya. Mas Sigit adalah salah satu moderatornya. Aku anggota milis tersebut. Tapi aku tidak datang waktu acara di Jogja. Acaranya bedah sepuluh karya semalaman. Berita itu letaknya di halaman 28. Aku berkomentar tentang salah penulisan nama dan isi beritanya yang terasa menggantung.

    Pukul setengah satu bus tiba di depan terminal 1B. Aku mengantar sampai pintu. Mas Sigit langsung masuk. Pesawat sudah siap. Aku kembali ke tempat pemberhentian bus. Aku naik bus kembali ke Lebak Bulus.


        
       
        

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    1 komentar:

    1. kopi daun itu seduhan daun kopi pak
      jadi pada waktu itu para penanam kopi ngga boleh meminum biji kopi yg mereka tanam, semua biji kopi yang dihasilkan dijual oleh pihak Belanda

      jadi supaya tetap bisa minum kopi mereka akalin dengan menyeduh daun kopi, pernah diulas kok di trans tv, katanya rasa dan baunya sih mirip kopi, anak kecil juga boleh minum kopi daun cuma tidak boleh banyak2

      resep hasil ngulik internet pak: Daun kopi diasap dulu diatas bara, setelah kering baru direbus dan disaring

      ReplyDelete

    Item Reviewed: Reading Groups Minggu Ketujuh Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top