728x90 AdSpace

  • Latest News

    03 April 2011

    Catatan Reading Group Minggu ke-30 Novel Max Havelaar


    Oleh Ubaidilah Muchtar

    Orang tuaku mempunyai sembilan anak. Tiga anak pertamanya meninggal saat masih kecil. Penyakit merenggut mereka dari dekapan orang tuaku. Setelah ketiga anaknya tidak berhasil diselamatkan, orang tuaku memberikan nama Sukari untuk anak keempatnya. Sukari berasal dari kata “ngari” yang dalam bahasa Sunda berarti nyisa atau menyisakan. Sukari adalah kakak tertuaku hingga saat ini yang ada. Sukarilah yang mewarisi kemampuan ayahku dalam menangkap ikan di laut. Ayahku sehari-hari melaut namun meninggal di sawah tujuh tahun yang lalu. Ayahku meninggal dalam posisi terduduk di bawah pohon kelapa di tepi sungai selepas mengambil buah kelapa. Ibuku baru saja usai menanak singkong dan ayahku mengambil buah kelapa ke sawah. Rencananya kelapa itu untuk menemani singkong yang ditanak ibuku untuk membuat urap singkong. Dalam kondisi tergesa beberapa penggembala itik di sawah datang ke rumah dengan menggotong jasad ayahku yang sudah tidak bernyawa. Ayahku ditemukan di bawah pohon kelapa dalam posisi duduk. Beberapa kali penggembala itik itu lewat depan ayahku. Dia mengira ayahku sedang tertidur. Namun setelah ditegur beberapa kali dan tidak ada balasan, penggembala itik itu lantas menepuk tubuh ayahku yang dibalasnya dengan tubuhnya yang sudah tidak bernyawa.
    Ayahku pekerja keras. Selapas Subuh ia akan mempersiapkan sepeda untuk dikayuhnya ke laut. Ibuku akan memberikan bekal nasi dalam buntalan kain “dimpo” taplak meja. Buntalan kain itu berisi nasi yang dibungkus daun pisang dan beberapa potong lauk sebagai teman makan. Di sepeda telah tergantung kembu, tempat menaruh ikan dan udang hasil tangkapan ayah. Saat menikahi ibuku, ayah memberikan beberapa perabot rumah tangga yang dibelinya dari hasil tangkapan ikan di laut. Ibu selalu memberiku ikan dan udang untuk teman nasiku sejak kecil. Selain tentu saja tahu dan tempe yang menjadi teman nasiku sesekali.
    Sebulan selepas menengokku untuk yang pertama dan terakhir kalinya dalam acara kelulusan dari kampus yang memproduksi guru di Bandung, ayahku meninggal. Meninggal di sawah dalam keadaan sehat menurut penglihatan semua orang. Ayahku tidak lulus hanya sampai kelas tiga sekolah dasar. Sementara ibuku tidak pernah merasakan sekolah. Jika ayahku pergi melaut di subuh buta, ibuku juga akan pergi. Pergi setelah kami, anak-anaknya disiapkan makan pagi. Ibu akan menggendong bakul besar berisi opak. Opak adalah makanan dari beras ketan yang ditumbuk dan dibuat bulat pipih lalu dipanggang di atas api dari arang. Ibuku berjalan kaki menempuh belasan kilometer untuk menjajakan opak. Aku dan saudaraku sering mengikuti ibu berjualan jika sekolah sedang libur atau mendapatkan pesanan banyak sehingga tenagaku dibutuhkan untuk memikul opak dalam keranjang bambu yang disebut tolok.
    Sehari selepas kepergian ayah, ibu mengumpulkan kami berenam. Saudaraku berjumlah genap. Tiga laki-laki dan tiga perempuan. Aku anak laki-laki, juga si sulung dan si bungsu. Sukari dan Ahmad Saeroji. Dua kakak perempuanku, Salamah dan Yayah Atiyah serta adik perempuanku Aliyah. Ibu bercerita bahwa bukanlah keinginannya hingga aku dapat merasakan bangku pendidikan tinggi. Sementara saudaraku hanya merasakan sekolah dasar. Ibu juga berharap kami selalu bersama dan tidak ada rasa cemburu. Ibu mengajarkan kepada kami tentang keluarga. Selama masa perkawainannya dengan ayah hanya satu kali pernah kudengar ibu dan ayah berkata dalam nada tinggi. Tentu saja hanya masalah kecil. Masalah karung tempat padi yang bagi ayah selalu tidak cukup. Entah oleh siapa karung itu hilang.
    Ayahku tidak pernah mengenal ayahnya. Kakekku meninggal saat ayah dalam kandungan. Dan nenekku meninggal saat ayah berusia dua bulan. Ayahku menjadi yatim piatu saat masih kecil. Meski yatim piatu dan diasuh oleh orang lain yang tidak memiliki anak, ayahku bekerja keras untuk kehidupannya. Jarang sekali kulihat ayah berpangku tangan. Keluargaku hidup sederhana. Kami berenam membagi beban pekerjaan. Aku bertugas mengambil air di sumur pompa milik bersama untuk selanjutnya kuisi gentong air di dapur. Kakakku mengambil kayu bakar. Sedang kakak perempuanku mengurusi rumah. Mencuci piring, menyapu lantai, dan pekerjaan lainnya. Hingga aku besar. Akulah satu-satunya dari enam bersaudara yang belum merasakan naik pesawat terbang. Kakak dan adikku pernah bekerja di luar negeri. Di kampungku bekerja ke luar negeri adalah hal biasa. Kini Si bungsu tinggal di Selangor, Malaysia sebab memiliki istri dari sana. Sementara adikku Aliyah sudah tiga kali pergi pulang ke Arab Saudi hingga kini. Tinggal ketiga kakakku yang kini bersama ibu di Pamanukan. Ketiga kakakku pernah menjadi TKI di Arab Saudi dan Malaysia. Ya, kami dibesarkan di kota kecil dengan udara lembab yang membuat kulit terasa lengket. Pamanukan adalah kota kecil di jalur Pantai Utara atau disebut Pantura. Berbatasan dengan Indramayu di sebelah Timur dan Karawang di Barat. Kami tinggal di Kampung Jejerukan sekira lima sepuluh kilometer ke tepi pantai. Dahulu di kampungku banyak pohon jeruk. Maka diberi nama Jejerukan atau seperti jeruk.
    Dua tahun terakhir ini aku menyaksikan dan bergaul dengan mereka yang menurutku kekurangan. Tentu saja aku tidak bermaksud merendahkan. Bagaimana tidak? Sewaktu kecil aku diberi makan yang baru kutahu saat ini dari istriku bernama lobster. Ayahku akan membawa banyak udang serupa itu jika jalanya terisi banyak dan sisa penjualan kepada bandar ikan di pelelangan akan dibawa pulang. Ibuku akan memasak dalam berbagai jenis hidangan. Udang dan ikan menjadi menuku sehari-hari. Namun di sini, di pedalaman Lebak anak-anak dalam jangka waktu bertahun-tahun hanya menemukan ikan asin dan sambal terasi. Tidak banyak variasi yang didapatkan. Tanah di sini keras. Laut jauh ke selatan dengan ombak besar. 151 tahun yang lalu Multatuli menemukan daerah ini miskin. Dan hingga kini sebanyak 52,75 persen penduduk masih tak beranjak dari yang dikatakan Multatuli. Namun kudapatkan semangat luar biasa dari mereka. Aku menemukan seperti yang Multatuli katakan. Makin mencintai Lebak seperti orang tua yang makin mencintai anaknya setelah anaknya jatuh sakit. Anak-anak di Taman Baca Multatuli tak kenal lelah belajar. Wajah-wajah ceria mereka jauh mendorong makin besar semangatku. Seperti juga sore ini. Sore di hari keempat di tahun yang baru tahun 2011. Hari ini Selasa, 4 Januari 2011 kami bertemu untuk membaca novel Max Havelaar. Selasa ini pertemuan kami kali yang ketiga puluh.
    Selasa ini kami dua puluh lima peserta Reading Group Max Havelaar akan melanjutkan membaca kisah pemuda Jawa yang menderita karena kesewenang-wenangan penguasa Lebak. Kisah percintaan yang menyedihkan. Juga kisah pencurian kerbau rakyat oleh penguasa. Kisah pribumi yang memakan pribumi. Kisah Saijah dan Adinda.
    Kubaca paragraf berikut ini. Peserta Reading Group Max Havelaar akan mengikuti bacaanku dalam tatapan mereka pada teks dalam novel yang ada di tangan mereka.
    Saijah tiba di Batavia. Dia meminta seorang tuan untuk mempekerjakannya sebagai perawat kuda, yang langsung diberikan oleh tuan itu, karena dia tidak mengerti bahasa Saijah, bahasa Sunda. Karena di Batavia orang-orang suka memiliki pelayan yang belum pernah belajar bahasa Melayu, karena belum begitu rusak seperti mereka yang telah lama bersentuhan dengan peradaban Eropa. Saijah kemudian mempelajari bahasa Melayu, namun dia bertingkah dalam sikap yang baik, karena dia tidak pernah berhenti memikirkan dua ekor kerbau yang ingin dia beli, dan tentang Adinda. Dia semakin tinggi dan kuat, karena dia makan dengan teratur setiap hari, hal yang tidak mungkin dilakukan di Badur. Dia sangat terkenal di kandang kuda, dan jelas tidak akan ditolak jika dia meminta sang putrid sang pelatih untuk dinikahi. Dan tuannya juga, sangat menyukai Saijah sehingga dia segera dipromosikan menjadi pelayan rumah. Upahnya meningkat, dan dia terus mendapatkan hadiah, karena orang-orang sangat puas dengan kerjanya. Nyonya rumah itu telah membaca novel karya Sue yang berjudul The Wandering Jew, kejaiban selama sembilan hari itu, dan tidak bisa berhenti memikirkan Putri Jalma ketika dia melihat Saijah. Dan wanita muda itu juga lebih mengerti dari sebelumnya mengapa sang pelukis Jawa Raden Saleh menjadi mode di Paris. [MH, hlm. 320-321]
    Aku jelaskan tentang Batavia sedikit kepada peserta. Beberapa peserta bertanya tentang satu dua kata yang tak dipahaminya. Kujelaskan semampuku dan sepengetahuanku. Jika ku tak sanggup aku akan menjadikannya tugasku untuk menelisiknya di kampus atau mencarinya di internet. Juga termasuk novel yang disebutkan Multatuli pada paragraf ini. Kulanjutkan membaca, kupersilakan peserta untuk menandai jika ada kalimat yang kurang dipahaminya. Tentu saja jika pun mereka tidak bertanya, aku akan menjelaskannya bahkan dengan bahasa yang mereka kuasai sehari-hari, bahasa Sunda dialek Lebak yang sedikit berbeda dengan bahasa Sunda Periangan.
    Setelah hampir tiga tahun mengabdi, Saijah memberitahukan keinginannya kepada tuannya. Saijah menyampaikan keinginannya untuk pulang dan meminta sertifikat perilaku baik. Tuannya menganggap Saijah tidak bersyukur saat mendengar permintaan Saijah. Bagaimanapun mereka tidak dapat menolak keinginan Saijah. Saijah pun pulang ke kampung halamannya dengan hati riang. Saijah melewati daerah Pesing, daerah di mana Havelaar pernah tinggal, dahulu kala. Pesing adanya di daerah Serang yang kini menjadi ibukota Provinsi Banten. Kukira yang dimaksud adalah saat Havelaar menunggu kepastiannya untuk bertemu Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Duymaer van Twist. Havelaar saat itu berdiam di rumahnya Residen Banten, Brest v. Kempen alias Slijmering.
    Pembaca tahu apa yang dibawa Saijah hasil kerjanya selama tiga tahundi Batavia. Ya, Saijah menghitung harta yang dibawanya pulang. Ini dia yang berhasil di bawanya. Dalam gulungan bambu terdapat izin lewat dan konfirmasi dari tuannya. Dalam tempat berbentuk silinder, tersambung dengan tali kulit, sesuatu yang berat tampak terus menekan bahunya, namun dia senang merasakannya, dan tidak heran! Di dalamnya terdapat tiga puluh dolar Spanyol, cukup untuk membeli tiga ekor kerbau. Di punggunya terlihat mencuat sebuah sarung keris perak yang dia selipkan di ikat pinggangnya. Gaganya tak diragukan lagi adalah ukiran kemuning, kayu terbaik yang berserat kuning berharga sangat mahal. Keris itu sangat indah yang dibungkusnya dengan kain sutra. Di dalam ikatan kain pinggangnya dia menyimpan ikat pinggang wanita yang seluruhnya terbuat dari perak dan terhubung dengan sebuah ikat-pending emas atau apitan. Ikat pinggang untuk kekasihnya, Adinda.
    Dan yang paling istimewa menurutku tentu saja yang satu ini. Saat membaca paragraf ini para peserta menarik napas panjang. Panjang sekali. Termasuk aku.
    Dan tergantung dengan benang tipis mengelilingi lehernya, di antara rompinya, dia membawa sebuah kantung kecil terbuat dari sutra yang berisi beberapa melati kering. [MH, hlm. 322]
    Saijah pulang dengan hati gembira. Dia tidak singgah di Tangerang. Dia hanya berbicara seperlunya saja dengan para gadis yang menyapanya di jalan, yang bertanya: “Mau ke mana dan dari mana?”, Saijah tidak lagi menganggap Serang sangat indah. Saijah tidak lagi merangkak di bawah pagar seperti yang dia lakukan tiga tahun lalu, ketika Residen sedang melintas, karena sekarang Saijah telah sering melihat Tuan yang lebih berkuasa yang tinggal di Bogor dan merupakan kakek Susuhunan Solo. Saijah hanya memperhatikan sedikit cerita tentang gagal panen kopi di Banten Selatan, bahwa Pemimpin Distrik Parungkujang telah mendapat hukuman detensi selama empat belas hari dalam rumah ayah mertuanya, karena perampokan di siang bolong dan Rangkasbitung merupakan pusat divisional.
    Tidak. Saijah tidak memikirkan semua itu. Dia memiliki bayangan yang lebih indah di dalam pandangan hatinya. Dia memandang bentuk awan-awan seperti pohon ketapang, seakan dia masih begitu jauh untuk bisa melihatnya di Badur. Dia menggenggam udara yang ada di sekitarnya seakan berharap untuk merengkuh bentuk yang akan menantinya di bawah pohon itu. Dia membayangkan wajah Adinda, kepalanya, bahunya, dia melihat konde yang berat, begitu hitam dan berkilau, terperangkap di jaring rambut, tergantung di lehernya… dia melihat mata besar, berkilauan dalam pantulan gelap…lubang hidungnya berkerut dengan sombong seperti anak kecil tiap kali dia menggodanya—bagaimana bisa!—dan di ujung mulutnya, saat dia memberikan sebuah senyum. Dia melihat payudaranya, yang saat ini pasti membesar di balik kebaya, dia melihat bagaimana sarung, yang dia tenun sendiri, dengan ketat menyarungi pinggulnya, dan diikuti dengan siluet paha, turun melewati lutut yang mengombak dengan indah menuju kaki kecilnya.
    Dalam perjalanan itu. Saijah sedikit saja mendengar perkataan orang-orang. Baginya nada yang berbeda jauh menarik. Dia mendengar Adinda berkata: “Selamat datang, Saijah! Aku selalu memikirkanmu saat memintal dan menenun, dan saat menumbuk beras di lesung yang menyimpan tiga kali dua belas tanda yang kubuat dengan tanganku. Ini aku, di bawah ketapang, di hari pertama bulan baru. Selamat datang, Saijah: aku akan menjadi istrimu!” [MH, hlm. 323]
    Itu musik yang terdengar sangat indah di telinganya, dan membuatnya tuli pada semua berita yang diberitakan orang-orang padanya di sepanjang jalan. Akhirnya Saijah tiba di hutan jati di bawah pohon ketapang itu. Dia mencari dalam gelap, dia merasakan batang dari banyak pohon dengan tangannya. Hal itu tidak lama. Akhirnya ia menemukan kekasaran yang sudah dikenal sebelumnya di sisi selatan sebuah pohon, dan dia meletakkan jarinya ke dalam celah yang ditebas Si Panteh dengan parang, untuk mengusir kuntilanak yang bertanggung jawab atas sakit gigi yang diderita Ibu Panteh, tidak lama sesudah adiknya lahir. Ini adalah ketapang yang dicari Saijah.
    Saijah duduk di kaki pohon itu, dan memandang bintang-bintang. Dia melihat ada satu bintang jatu melintasi langit, dia menganggap sebagai salam sekembalinya Saijah ke Badur. Saijah banyak hal yang dipikirnya di bawah pohon ketapang ini. Dia ingin tahu apakah Adinda sudah tidur? Dan apakah dia sudah benar-benar member tanda pada lesungnya? Dia ingin tahu apakah Adinda sudah membatik sarung dan selendang cantik? Dan dia bertanya pada dirinya dengan sedikit penasaran, siapakah sekarang yang tinggal di rumah ayahnya? Dan kenangan masa kecilnya, tentang ibunya, tentang kerbau yang menyelamatkannya dari terkaman macan, dia tidak bisa berhenti merenung mengenai apa yang terjadi dengan Adinda jika kerbau itu tidak begitu setia padanya.
    Dia sungguh-sungguh memperhatikan posisi bintang di barat, dan di setiap bintang yang menghilang di bawah horizon dia menghitung seberapa dekat lagi matahari akan terbit di timur, dan seberapa dekat lagi dia akan melihat Adinda lagi.
    Karena dia pasti datang di saat cahaya pertama terlihat, ya, dia pasti sudah berada di sana di balik kabut pagi berwarna abu-abu. Oh, mengapa dia tidak datang ke pohon itu hari sebelumnya?
    Sangat menyedihkan bagi dia bahwa, Adinda tidak meramalkan ini—momen terbesar yang telah bersinar di depannya dengan cahaya yang tak dapat terkatakan selama tiga tahun yang panjang. Dan, sama tidak adilnya dengan keegoisan cintanya, bagi dia seharusnya Adinda sudah harus ada di sana, menunggu dia, yang sekarang sedang mempertanyakan—sebelum waktu yang ditetapkan, di situ!—karena dia harus menunggunya.
    Saijah mengeluh tanpa sebab. Karena matahari masih juga belum terbit. Mata dan Hari masih juga belum melempar kerlingan di dataran. Tentunya, bintang-bintang masih menemani di atas kepalanya, yang dipermalukan oleh akhir kedatangan kekuasaannya, tentunya, warna aneh yang menyemburat di seberang puncak pegunungan, yang terlihat semakin gelap, semakin tajam diuraikan menandingi latar belakang yang lebih terang, tentunya, sesuatu berkilau dengan cepat kian ke mari melewati awan-awan di langit timur—panah emas dan api telah ditembakkan kian ke mari, mengikuti garis langit. Namun mereka menghilang lagi, tampaknya terjatuh di balik tirai yang tak dapat dimengerti, yang terus menyelubungi hari dari mata Saijah.
    Secara berangsur-angsur di sekitarnya menjadi semakin terang, dia akhirnya bisa melihat pemandangan, dan dia akhirnya bisa melihat rumabi jambul hutan kelapa di mana Badur tersembunyi di baliknya, di sana Adinda tertidur!
    Saijah memikirkan Adinda yang tak jua terlihat berjalan dari Badur menuju pohon ketapang. Tidak ada yang melalui jalan yang mengantarkan dari Badur ke ketapang. Tapi dia akan datang tidak lama lagi, sekarang masih terlalu pagi. Begitu pikir Saijah.
    Saijah melihat seekor bajing mondar mandir dengan cepat di batang pohon kelapa, dengan kecekatan yang lincah. Saijah melihatnya dan memaksakan diri untuk tetap melihatnya, karena hal itu memberikan waktu bagi pikirannya untuk istirahat dari kerja keras yang telah dilakukan sejak matahari terbit. Beristirahat dari ketegangan menunggu yang melelahkan. Saijah menyanyikan apa yang melintas di benaknya. Ini lagu yang Saijah nyanyikan saat menunggu Adinda. Aku membacakannya dalam dua bahasa, Indonesia dan Sunda untuk para peserta Reading Group Max Havelaar pertemuan ke tiga puluh ini. Ini nyanyiannya.

    “Lihatlah bagaimana bajing mencari makanan untuk dirinya di pohon kelapa.
    Dia memanjat, turun, dengan cepat bergerak ke kiri dan kanan,
    Dia mengelilingi pohon, melompat, jatuh, berdiri dan jatuh lagi:
    Dia tidak punya sayap, namun melayang seperti seekor burung.
    Kebahagiaan untukmu, bajingku, semoga kebahagiaan jatuh kepadamu!
    Kau pasti menemukan makanan yang kau cari…
    Namun aku duduk sendiri di hutan jati,
    Menanti makanan hatiku
    Sudah lama perut bajingku terisi…
    Sudah lama dia kembali dengan tenang ke sarangnya…
    Tapi selama itu jiwaku,
    dan hatiku dengan pahit bersedih… Adinda!”

    “Lihatlah bagaimana kupu-kupu terbang mondar-mandir.
    Sayap mungilnya berkilau seperti burung yang terlalu banyak di cat.
    Hati kecilnya menyukai bunga-bunga kenari:
    Jelas dia mencari wewangian yang paling dia sukai!
    Kebahagiaan untukmu, kupu-kupuku, semoga kebahagiaan jatuh kepadamu!
    Kau pasti menemukan apa yang kau cari…
    Tapi aku masih duduk sendiri di hutan jati,
    Menanti kesukaan hatiku
    Lama sudah berlalu sejak kupu-kupu itu mencium
    bunga kenari yang begitu dia puja…
    Tapi selama itu jiwaku,
    dan hatiku dengan pahit bersedih… Adinda!”

    “Lihatlah bagaimana matahari berkilau nun jauh di sana:
    Tinggi, tinggi di atas bukit pohon-pohon waringin!
    Dia merasa begitu hangat, dia akan tenggelam,
    Untuk tidur di dalam laut, seperti lengan seorang pasangan.
    Kebahagiaan untukmu, Oh matahariku, semoga kebahagiaan jatuh kepadamu!
    Apa yang kau cari pasti akan kau temukan…
    Tapi aku duduk sendiri di hutan jati,
    Menanti peristirahatan hatiku
    Akan lama matahari tenggelam, dan tidur di dalam laut,
    ketika segalanya menjadi gelap…
    Dan selama itu jiwaku,
    dan hatiku akan dengan pahit bersedih… Adinda!”

    “Ketika kupu-kupu tidak lagi terbang mondar-mandir,
    ketika bintang-bintang tidak lagi berkedip,
    ketika melati tidak lagi mewangi,
    ketika tidak ada lagi hati yang sedih,
    maupun hewan liar di hutan…
    ketika matahari akan menghilang dari jalannya,
    dan rembulan lupa di mana letak timur dan barat…
    jika kemudian adinda masih tidak datang,
    maka malaikat dengan sayap menyilaukan akan
    turun ke bumi, mencari apa yang ada di baliknya.
    Maka tubuhku akan terbaring di sini, di bawah ketapang…
    Jiwaku dengan pahit bersedih… Adinda!”

    “Kemudian tubuhku akan dilihat oleh malaikat itu.
    Dia akan menunjukkan ke saudaranya, dan berkata:
    “Lihat di sana ada pria yang baru saja meninggal dan terlupakan!
    Mulutnya yang dingin, kaku mencium bunga melati.
    Ayo, mari kita angkat dan bawa dia ke surga,
    dia, yang menanti Adinda hingga mati.
    Jelas dia tidak bisa ditinggalkan di sini,
    yang hatinya begitu berani untuk mencintai sedalam itu!”
    Maka sekali lagi mulutku yang kaku, dingin terbuka
    memanggil Adinda, cinta hatiku…
    Sekali lagi, sekali lagi aku akan mencium melati
    yang dia berikan padaku… Adinda…Adinda!”

    Itulah nyanyian yang diucapkan Saijah yang melintas di benaknya. Namun masih saja. Tidak ada orang yang melintasi jalan yang mengantarkan dari Badur ke ketapang. Sampai di bagian ini pembacaan Max Havelaar di pertemuan ke tiga puluh. Selasa sore, 4 Januari 2011. Kami yang menekuri kesungguhan Saijah dalam menanti Adinda sore itu, Aliyudin, Sumarna, Cecep, Andi, Suana, Mariah, Pipih Suyati, Dede, Dedi Kala, Yani, Amsor, Mamay, Yeni, Samnah, Suryati, Ucu, Niah, Elis, Sadah, Mariam, Elah, Nurajijah, Nuraeni, Sumiyati. Aku tuliskan satu kesan dan pesan yang ditulis di buku merah oleh Pipih dan Mariah. Pipih menulis, “Teman-teman asyik loh membaca kisah Saijah dan Adinda!” Sementara Mariah menulis, “Saijah selalu menanti kedatangan Adinda dari malam sampai pagi. Dia selalu menunggu kedatangan Adinda!”
    Kita akan selalu menunggu kehadiran Adinda di bawah pohon ketapang. Kuharap pembaca bersabar menunggu kelanjutannya di pertemuan yang akan datang. Selamat menunggu.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    2 komentar:

    1. slm'alaikum...
      Ikut berduka(ga' ada kata terlambat walopun dah 7tahun yang lalu,kan?)

      btw ini teh,Ubaidillah yang alumni MIFDA sanes nya?punten pami lepat.

      ReplyDelete

    Item Reviewed: Catatan Reading Group Minggu ke-30 Novel Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top