728x90 AdSpace

  • Latest News

    09 September 2011

    Catatan #1 Sastra Multatuli—Ulang Tahun Membaca Max Havelaar

    ALIYUDIN:
    [Kelas IX SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang, pemeran Saijah dewasa saat drama berlangsung]
    Jumat, 13 Mei 2011
    Jam sebentar lagi menunjukan jam 14.00 berarti saya harus siap-siap untuk melakukan drama. Lalu saya bikin keris-kerisan sama Sanadi di depan rumahnya. Ketika sudah selesai saya pulang ke rumah dan ternyata Mas Sigit sudah memulai acara dengan sulap di panggung. Ketika saya menonton ternyata sudah sedikit lagi yang akan disulapkannya.
    Setelah selesai, Pak Ubai mengumumkan bahwa drama Saijah dan Adinda akan segera dimulai. Tempatnya di lapangan MI Al Hidayah Ciseel. Lalu kami ke sana bersama warga juga yang mau menonton.
    Ketika sudah sampai acara langsung dimulai. Ketika saya sudah mulai masuk dan ketika menangis, saya menangis benaran. Dan setelah selesai dramanya saya langsung pulang dengan teman-teman. Dan hujan mulai turun walaupun kecil. Setelah sampai ke taman baca saya kumpul-kumpulkan barang yang dipakai alat drama. Lalu saya istirahat. Terus pulang. Lalu mandi.
    Setelah mandi lalu ganti baju. Terus bermain. Tidak lama kemudian waktu maghrib telah tiba. Saya sembahyang dulu. Setelah sembahyang saya keluar lagi. Terus main lagi.
    Dan tidak lama kemudian acara mala mini sudah mulai. Dan acaranya adalah ada sambutan, gegendeh, ngagondang, cerita semut pekerja, puisi Saijah 4 bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, Belanda, Inggris. Lalu diskusi. Terus kosidahan. Terus organ rombongan Pak Kosim. Setelah selesai acara saya ngecas HP dulu untuk besok. Karena ada acara menyusuri jejak Multatuli di Rangkasbitung. Dan ada yoga karena HPnya mau dibawa untuk foto-foto. Setelah selesai lalu saya pulang. Terus baca doa. Lalu tidur.
    Sabtu, 14 Mei 2011
    Waktu saya bangun tidur saya tidak langsung mandi. Karena hari ini ada acara olahraga di pinggir kali atau disebut juga dengan “yoga”. Saya Cuma cuci muka saja. Setelah itu saya kumpul bersama dengan teman-teman di depan taman baca. Terus ada pengumuman dari Mas Sigit.
    Setelah pengumuman terus berangkat ke tepat yoganya. Dan tempatnya juga sangat jauh. Dari sini sekitar satu kilometer. Dan setelah sampai semuanya kami langsung mulai. Dan pada gerakan terakhir ada gerakan kaki di atas kepala di bawah. Dan gerakan itu pun bisa menyembuhkan sakit kepala.
    Setelah selesai kami langsung pulang kecuali para tamu karena mereka mau mandi dulu. Setelah datang ke rumah saya ambil sabung. Terus mandi, gosok gigi. Setelah selesai langsung pulang ganti baju. Terus ambil kartu peserta ke taman baca, mengambil buku tulis, terus balik lagi ke rumah. Persiapan untuk berangkat ke Rangkasbitung.
    Ketika kami berangkat saya ditinggalkan teman-teman. Setelah sampai ke Cangkeuteuk ternyata di sana ada teman-teman yang nungguin. Dan beberapa kemudian HP saya berbunyi. Pas saya angkat ternyata yang nelphon adalah Siti Nurhalimah. Dia memberitahu kami kalau mobilnya itu nunggu di Cengal.
    Setelah itu kami berangkat lagi. Ketika sampai di Cengal ternyata mobilnya sudah menunggu kami dari jam 07.30 WIB sampai kami datang semuanya. Sesudah sampai semuanya kami langsung berangkat. Ketika sudah naik mobil semuanya tempat duduknya sangat sempit. Dan itu pun masih ada yang nunggu di Sakilo. Dia di antaranya, Mas Sigit. Karena mereka itu salah jalan. Seharusnya jalannya belok kiri mereka malah lurus.
    Ketika mobil sampai ke Kampung Sakilo, Mas Sigit pun sudah menunggu. Terus mereka langsung naik dan mobil pun tambah sempit. Setelah itu kami berangkat lagi dan sesudah sampai ke Ciminyak di depan took Hj. Ipah mobilnya berhenti lagi. Ternyata Pak Ubai mau mengambil dus air dulu di took itu. Setelah dinaikkan tempat duduk di mobil menjadi tambah sempit lagi.
    Lalu kami berangkat lagi. Ketika datang di salah satu kampung mobil berhenti lagi. Ternyata Pak Ubai mau mencari mobil lagi karena mobilnya terlalu sempit. Pas mencari sopirnya di rumanya ternyata sopirnya lagi ke kebun. Tapi saya tidak tahu, entah sopirnya ada yang ngasih tahu, entah tidak. Dan tak lama kemudian sopir yang dicari-cari datang. Terus kami berangkat lagi dengan satu mobil tambahan. Di perjalanan kami bernyanyi, mengarang puisi keadaan alam, bagi-bagi makanan. Dan di perjalanan pun kami tidak kesal atau ngantuk karena Mas Sigit selalu bercanda terus di mobilnya.
    Ketika sudah melewati Sajira dan kami lagi asyik-asyik bercanda. Eh mobilnya berhenti lagi. Terus kata Mas Sigit, “Ada apa mobil berhenti lagi?” Pas kami lihat ke depan mobil ternyata ada rajia kendaraan mobil motor. Terus sopir kami dipanggil. Terus polisi minta uang. Lalu Pak Ubai bicara, “Gak usah minta uang karena kami mau ke Rangkas, mau jalan-jalan di alun-alun Multatuli, dan di sekitarnya.” Terus polisi bicara lagi, “Apakah sudah memiliki izin?” Pak Ubai jawab lagi. “Sudah!” Terus Mas Daurie datang mau foto polisinya. Tapi polisi malah marah sambil menunjuk-nunjuk Mas Daurie. Tapi Mas Daurie tidak mau kalah. Dia balik marah, “Pak, Bapak jangan nunjuk-nunjuk kayak gini dong. Itu tidak sopan!” Polisi langsung tambah jarinya jadi lima. Jari yang dipakai tadinya kan cuma pakai telunjuk doang.
    Setelah itu Mas Sigit bicara, “Pak kami mau ke Rangkas bawa anak-anak. Dan anak-anak pun di perjalanan sambil menulis kejadian apa yang telah terjadi. Tapi kami mau minta nama bapak untuk ditulis. Boleh kan, Pak?”
    Jawab polisi yang namanya Pak Sadimun, “E… boleh…boleh… tapi yang baik-baik aja ya!”
    Setelah itu Mas Daurie minta maaf. Lalu polisi juga minta maaf. Terus mereka bersalam-salaman. Lalu mereka kembali ke mobil. Terus berangkat lagi. Dan di perjalanan pun Mas Sigit sama Mas Husni selalu membicarakan soal itu. Dan sambil nyanyi-nyanyi atau sambil bercanda. Dan di mobil pun tidak terasa. Beberapa lama kemudian kami telah sampai ke Rangkas.
    Lalu kami turun terus masuk ke Pendopo. Dan rencananya mau makan. Setelah selesai makan kami membersihkan sampah bekas makanan. Lalu kami main sambil foto-foto di sekeliling gedung Bupati Lebak. Terus istirahat. Lalu disuruh kumpul di depan Pendopo oleh Mas Sigit. Terus kami disuruh mengeluarkan alat tulis. Lalu kami keluarkan. Terus kami mencatat apa yang telah terjadi dan apa yang diumumkan oleh Mas Sigit dan Pak Ubai.
    Pak Ubai mengatakan, “Bahwa kita akan segera mulai jalan-jalan ke alun-alun, Rumah Sakit Adjidarmo, ke Rumah Multatuli, dan sebagainya.” Tidak lama kemudian kami mulai berangkat. Pertama ke alun-alun. Kata Pak Ubai, “Alun-alun tempat bermain dan lain-lain.” Yang kedua ke Rumah Sakit Adjidarmo. Terus ke Rumah Multatuli. Dan ternyata sudah lebih 150 tahun yang lalu masih ada dinding rumahnya. Yang lain sudah diganti dan dijadikan gedung.
    Setelah itu kami ke Jalan Multatuli yang panjangnya sekitar satu kilometer. Dan di ujung utaranya ada Sungai Ciujung. Dan di ujung selatannya ada gedung Bupati Lebak, Pendopo, Aula Multatuli, dan Alun-alun Multatuli.
    Di tengah perjalanan di Jalan Multatuli kami mampir dulu ke SD Multatuli. Setelah sampai Pak Ubai menunjukan kalau mau cuci muka di mana, kalau mau shalat di mana.
    Setelah itu ada salah seorang guru yang menerangkan soal SD Multatuli. Namanya Bapak Jaya Sunjaya. Dia mengatakan, “Nama SD Multatuli itu diambil sejarahnya saja. Terus kepala sekolah di sini ada 5 kepala sekolah. 3 perempuan dan 2 laki-laki. Dan sekolahnya pun di dua kalikan. Pagi dan sore. Dan di kompleks SD Multatuli ini ada 6 SD. Ada SD 1, 2, 3, 4, 5, 6. Dan lokasinya di sebelah timur Jalan Multatuli.”
    Setelah selesai menerangkannya kami istirahat sebentar sambil jajan di kantinnya. Sesudah cukup istirahatnya kami keluar lagi mau menuju ke jembatan dua yang ada di Sungai Ciujung dan di ujung Jalan Multatuli. Setelah sampai di sana sungainya masih saja keruh. Seperti yang ada di novel Max Havelaar kalau Sungai Ciujung itu berwarna kuning dan di sungai inilah kalau ada yang lapor kalau kerbaunya hilang pagi-pagi orangnya sudah ngambang di Sungai Ciujung. Dan kami pun menikmati keadaan di sana. Ketika kami melihat ke Sungai Ciujung ada orang gila yang ngambek sama kami karena kami disangka melihatnya. Dia sendiri dan di Sungai Ciujung ada dua jembatan. Yang satu jembatan kendaraan motor, mobil, dll. Yang satunya lagi jembatan untuk kereta api. Setelah itu kami balik lagi ke Jalan Multatuli. Sekitar 15 menit dari Sungai Ciujung kami belok kiri karena kami mau ke Apotek Multatuli.
    Ketika telah sampai lalu kami duduk di luar dan kata salah seorang petugas di apotek yang nyuruh kami untuk duduk di dalam. Lalu kami masuk terus duduk sambil istirahat. Setelah itu ada salah seorang petugas yang mau bicara untuk menerangkan Apotek Multatuli.
    Dan dia mulai berkata, “Apotek ini mulai berdiri sekitar tahun 90-an. Apotek Multatuli didirikan oleh Bapak Suandi dan bukanya dari jam 07.00 pagi sampai jam 21.00 malam. Dan nama Multatuli untuk mengenang sejarah Multatuli.”
    Setelah selesai bicaranya, kami istirahat dulu. Dan dia namanya Bapak Herman—salah seorang petugas dari Apotek Multatuli.
    Sesudah istirahat kami jalan lagi untuk menuju Perpustakaan Saijah dan Adinda lewat Jalan Hardiwinangun. Jadi kami ini memutar/mengelilingi Rangkas. Kalau tadi lewat Jalan Multatuli kalau sekarang lewat Jalan Hardiwinangun. Setelah sampai kami langsung masuk lalu istirahat di dalam dan ada yang menunggu perpustakaannya dua orang. Satu perempuan satu laki-laki. Yang perempuan namanya Bu Eneng, yang laki-laki saya tidak tahu.
    Ketika saya sedang nulis-nulis, ada Mas Sigit bawa makanan. Pas saya mau ambil satu, Mas Sigitnya sudah keluar untuk mengambil makanannya. Terus saya keluar untuk mengambil makanannya. Setelah itu saya nulis lagi. Setelah selesai saya lihat-lihat keadaan di sana terus kami tanya-tanya pada Bu Eneng. Setelah selesai kami minta pamit untuk balik lagi ke Pendopo.
    Setelah pamitan kami semua keluar dan jalan lagi menuju tempat semula. Di perjalanan kami semua kehujanan. Lalu kami mampir dulu di halaman rumah orang dan cuma sebentar saja hujan mulai reda. Terus saya lari duluan dari yang lain menuju Pendopo. Setelah sampai saya beres-beres persiapan untuk pulang. Setelah beres-beres saya ikut Pak Ubai ke toilet. Saya kencing dulu dan cuci muka. Setelah selesai saya keluar lagi balik ke Pendopo.
    Saya duduk dulu di Pendopo. Setelah kumpul semuanya kami berangkat lagi untuk pulang. Dan seperti biasa di jalan kami sambil bercanda sama Mas Sigit walau pun hujan mulai turun lagi. Kami tetap semangat di perjalanan. Mobil belok kanan menuju ke pom bensin. Lalu ngisi bensin dulu. Setelah selesai kami pun berangkat lagi. Hujan pun ada deras ada kecil. Waktu pun tidak terasa. Tidak lama kemudian kami sampai juga ke Ciminyak. Lalu mobil pun berhenti. Terus kami turun. Lalu saya beli bakso tiga bungkus untuk di rumah. Satu untuk saya dan dua untuk adik saya. Tapi orang tua saya tidak dibelikan. Setelah dibungkus saya bayar. Lalu di masukkan ke tas. Terus saya naik lagi ke mobil.
    Semuanya sudah kumpul lagi. Kami langsung berangkat lagi tapi tidak lewat Cengal. Tapi kami lewat Rasamala. Lewat Cengal jalannya sangat jauh. Tapi kalau lewat Rasamala jalannya lumayan dekat.
    Ketika sudah sampai di Rasamala kami semua turun ketika hujan juga turun. Dan hujan sangat lebat dibandingkan yang tadi. Walaupun hujan sangat lebat tapi kami sangat asyik dan semangat. Beberapa teman dijemut untuk naik motor. Tapi saya dan kawan-kawan bersama tamu dan Pak Ubai jalan kaki. Setelah sampai di Cikadu, saya menunggu Pak Ubai dan teman-teman yang lain. Bersama kawan-kawan dan ada Mas Sigit, Mas Husni, dan Mbak Ita. Sudah cukup lama nungguinnya. Kata Mas Sigit, “Ayo, kita jalan lagi. Ubai kita tinggal saja karena pasti sudah hapal jalan sini.”
    Lalu kami jalan lagi tapi kami tidak lewat jalan yang biasa dipakai jalan motor. Tapi kami lewat jalan setapak karena lewat jalan sini agak dekat. Ketika kami sudah nyeberang Sungai Ciminyak Mas Sigit dan Mbak Ita tidak kelihatan. Terus kata Mas Husni, “Kita bagi dua saja. Yang tiga nunggu Mas Sigit di sini. Yang tiga lagi pulang bareng dengan saya sekarang!” Lalu kami ikutin kata-kata Mas Husni. Setelah itu saya ikut pulang dengan Mas Husni dan Ajat dan Dede—adik saya. Dan yang nungguin Mas Sigit ada Sanadi, Tomi, dan Yani.
    Hari pun sudah malam ketika sampai ke Kampung Ciseel. Ketika sampai ke Kampung Ciseel Mas Husni bertanya, “Kita sudah datang belum ke Kampung Ciseel?” Lalu saya jawab, “Sudah.” Mas Husni bertanya lagi, “Tapi ke taman baca masih jauh?” Saya jawab lagi, “Sekitar 3 menit lagi. Sudah dekat.”
    Ketika sudah sampai ke depan rumah, saya tidak berhenti tapi saya lurus mengantarkan barang-barang belanjaan istri Pak Ubai juga Mbak Ita dan Mbak Endah. Ada tahu, tempe, mi instan, dan lain-lain. Setelah sampai lalu saya kasih. Terus saya pulang lagi ke rumah. Sampai di rumah saya buka baju lalu mandi.
    Setelah selesai lalu saya makan bakso yang dapat beli di Pasar Ciminyak bersama adik saya. Setelah itu saya main ke panggung acara sambil ngecas HP. Tidak lama kemudian acara dimulai. Terus saya nonton. Dan acaranya pun drama, diskusi Mas F. Rahardi dan Mas Ragil dan Pencak Silat. Dan saya menonton sampai selesai.
    Selesai acara saya pulang terus siap-siap tidur. Karena besok mau ke Baduy. Jadi bangunnya harus pagi-pagi karena ke Baduy lebih jauh daripada ke Rangkas. Lalu saya baca doa. Lalu tidur.
    Minggu, 15 Mei 2011
    Ketika saya bangun tidur, tiba-tiba di dapur ada yang memanggil, katanya: “Yudin…Yudin bagun sudah siang!” Ternyata yang memanggil ibu saya. Lalu saya jawab, “Iya, Bu.” Terus saya bangun lalu keluar dari kamar tidur. Terus cuci muka. Saya tidak langsung mandi karena hari ini juga katanya mau diadakan yoga lagi.
    Setelah itu saya keluar dari rumah. Ternyata di luar sudah banyak teman-teman yang nungguin saya. Lalu saya dan teman-teman ke taman baca. Pas sampai di sana Pak Ubai mengatakan bahwa hari ini tidak ada yoga sebab harus berangkat lebih pagi. Saya dan teman-teman pun kembali ke rumah. Saya langsung ambil sabun terus mandi lalu gosok gigi terus pakai handuk terus balik lagi ke rumah.
    Saya persiapkan apa yang harus dibawa. Setelah itu saya menunggu di luar. Terus bapak saya memanggil. “Kalau mau bawa motor, bawa saja sebab yang lain juga ada yang bawa!” kata bapak saya. Ketika bapak bilang begitu saya bingung. “Kalau saya bawa motor saya sangat kasihan sama yang jalan kaki. Tapi kalau saya tidak bawa motor yang lain juga pada bawa motor dan terus jalan kakinya juga sangat jauh dan nanjak lagi dari Kampung Cikadu sampai ke Rasamala.”
    Lalu saya putuskan untuk membawa motor. Saya keluarkan motornya dari rumah. Terus dipanaskan dulu dan tidak lama kemudian Pak Ubai mengajak saya untuk segera berangkat dan sambil bertanya, “Ali mau bawa motor?” Lalu saya jawab, “Iya, pak.” Terus Pak Ubai bilang lagi, “Kalau begitu Pak Ubai duluan ya?” Lalu saya jawab lagi.
    Tidak lama kemudian saya berangkat. Di perjalanan saya ajak adik saya, Dede. Setelah itu saya saya jalan lagi. Rencananya saya lewat Cangkeuteuk tidak lewat Rasamala karena saya bawa motornya hanya sampai Ciminyak. Tidak langsung di bawa ke Baduy. Dan saya menunggunya di Ciminyak saja.
    Ketika saya sampai di Ciminyak saya langsung titipkan motor di warungnya Ma Emur. Terus saya balik lagi ke pinggir jalan terus ke perempatan jalan di Ciminyak dan ternyata di sana sudah ada Ka Endang. Ka Endang habis mengantarkan salah seorang tamu yang pulang hari ini. Tamu dari Jogja dan namanya Mas Ragil Nugroho.
    Terus ada yang datang lagi Sarman dan Fahrur Roji memakai motor. Kami di sana tidak terasa lama menunggu karena sambil bercanda. Tidak lama kemudian mobilnya datang. Terus berhenti lalu saya naik dan ternyata yang lain pun pada turun. Mereka berbelanja makanan. Dan Pak Ubai kembali memasukan dus air minum ke truk seperti kemarin. Lama menunggunya sekitar 30 menit.
    Di perjalanan saya lihat ternyata banyak yang membawa motor. Di antaranya ada Ka Sarif, Wawan, Mulyadi, Sarman, Pak Kosim, dan yang lainnya. Mereka pada menyalip mobil yang dinaiki oleh kami. Dan hari ini pun banyak teman yang tidak ikut karena kecapekan pada hari kemarin dari Rangkas. Namun banyak juga yang ikut dari orang tua.
    Di perjalanan saya melihat orang Baduy sedang berjalan sendirian. Perjalan ke Baduy ini lebih jauh daripada ke Rangkas. Saya di perjalanan tertidur karena ngantuk. Kan semalam saya menonton pencak silat. Jadi tidurnya pun agak malam.
    Setelah sampai ke Cijahe saya dan lainnya istirahat dulu sebentar. Terus makan di halaman rumah orang Cijahe tempat kami istirahat. Setelah makan kami beres-beres. Terus ada pengumuman dari Pak Ubai. Juga penjelasan dari Mas F. Rahardi dan Mas Kurnia Effendi tentang menulis catatan perjalanan. Setelah itu kami langsung berangkat. Ketika mau berangkat saya melihat Pak Acang pakai pakaian orang Baduy. Dan tidak pakai sepatu atau sandal.
    Terus saya berpikir “Mengapa Pak Acang pakai baju seperti itu dan tidak memakai sandal.” Tapi yang pasti kami kan mau ke Baduy. Jadi saya pikir Pak Acang berpakaian seperti itu karena dia sudah tahu bagaimana keadaan di Baduy.
    Di perjalanan saya sangat lelah. Kecapekan karena perjalanan sangat jauh. Tapi walaupun lelah, capek, saya tetap semangat karena baru kali ini saya ke Baduy. Lalu saya bertanya kepada Pak Usman karena Pak Usman juga ikut ke Baduy. “Pak Usman masih jauh nggak perjalanannya?”
    “Nggak. Dekat lagi tuh di bawah di sana.” Kata Pak Usman sambil menunjuk ke kebun. Lalu saya bertanya ke Pak Ubai. Pak Ubai lalu menunjuk ke perkampungan yang kini sudah kulihat.
    Lalu kami menyeberang sungai Ciujung yang mengalir sampai ke Rangkas. Ternyata sungai Ciujung yang ada di Baduy ini airnya tidak kuning, tidak keruh, tapi masih jernih.
    Setelah sampai di Kampung Cikeusik atau Baduy Dalam, Pak Ubai langsung mengajak kami menghitung jumlah tempat menyimpan padi atau leuit. Lalu masuk ke perkampungannya. Dan di sana halamannya sangat bersih karena di sana tidak seperti di kampung kita ada jalan kendaraan.
    Ketika sampai masuk ke kampungnya ternyata orang-orangnya sudah pada ke kebunnya masing-masing. Kampungnya sangat sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang menunggunya dan pu’unnya atau bisa dikatakan ketuanya. Lalu kami periksa-periksa keadaan di sana dan foto-foto. Dan di Baduy juga ada salah seorang dari mereka yang pandai berbahasa Indonesia walaupun agak bercampur dengan bahasa Sunda. Dia bercerita tentang keadaan di sana. Menerangkan apa yang kurang tahu bagi kami. Namanya Ayah Narpah. Terus ciri-cirinya orang Baduy itu memakai dedamping, ikat kepala, tidak beralas kaki, dan mematuhi laranga-larangan yang mereka adakan. Oleh mereka itu dipatuhi dan salah satunya adalah tidak boleh mendekati rumah pu’un. Juga tidak boleh makan hewan berkaki empat, tidak boleh ada kendaraan, dsb.
    Setelah cukup lama kami memeriksa keadaan di sana kami pulang lagi lewat jembatan. Tujuan kami ke Baduy tapi ke Kampung Cikartawana dan ke Cibeo. Dan setelah saya memerhatikan jembatannya. Ternyata jembatan sangat kuat walaupun bahannya cuma bambu dan tali. Dan jembatannya juga pakai variasi di lengkungan di tengahnya. Terus saya jalan lagi. Pas datang ke perempatan Cijahe, Cikeusik, Cikartawana hujan mulai turun dan langsung lebat.
    Terus kami berhenti di salah satu saung di Baduy. Sambil nungguin hujan reda. Setelah agak reda kami langsung mau jalan lagi ke Cikartawana. Tapi Pak Ubai melarangnya sambil bicara, “Hai, tunggu dulu. Tungguin yang belum datang!”
    Ada seorang tamu yang ngomong, “Kang Ubai saya mah mau nunggu di Cijahe saja. Saya tidak akan ikut ke Cikartawana.” Terus Pak Ubai bilang, “Ya, kita tunggu yang lain dulu.” Pas datang langsung ditanya ternyata yang baru datang juga sudah kelelahan terus mau pulang aja. Lalu Pak Ubai juga memutuskan untuk tidak jadi ke Cikartawana dan ke Cibeo karena perjalanan masih jauh juga hujan. Apalagi kita kan nanti malam akan nonton film Max Havelaar. Terus aku kecapekan dan kami bersorak-sorai karena tidak jadi ke Cikartawana. Walau tidak jadi ke sana saya dan teman-teman tetap semangat. Saya jalan lagi ke arah pulang. Di perjalanan saya dan lainnya sambil bercanda. Dan setelah sampai ke Cijahe kami langsung masuk rumah untuk istirahat. Dan istirahatnya cukup lama sebab kami habis jalan sekitar satu setengah kilo ke Cikeusik. Terus pulang lagi ke Cijahe satu setengah kilo.
    Setelah kumpul semuanya kami langsung pulang. Dan di mobil pun saya dan Oji ketiduran sampai Ciminyak. Dan diperjalanan saya tidak tahu apa-apa karena saya tidur di sepanjang jalan. Setelah sampai di Ciminyak ternyata waktu menunjukan jam 05.00. Lalu saya ambil motor dari rumah Ma Emur. Terus istirahat lalu berangkat lagi untuk pulang dan jalan pun sangat licin. Saya bawa motor sangat hati-hati karena takut jatuh.
    Sampai ke rumah jam sudah menunjukan 05.48. Terus saya masukin motor ke rumah. Terus istirahat dan cerita-cerita pada orang tua. Terus orang tua saya cerita bahwa rumah di Baduy tidak boleh lebih dari 40 rumah. Kalau pun membuat rumah cuma nambah rumah orang tuanya.
    Waktu maghrib pun tiba tapi saya belum mandi. Dan saya masih mau istirahat. Ketika sudah pukul 06.30 saya baru mandi. Setelah itu saya ganti baju. Terus saya pergi ke taman baca dan naik ke panggung. Tidak lama kemudian acar dimulai dan ternyata tidak langsung nonton film. Namun masih ada acara sambutan, menerangkan foto-foto zaman dulu dan penutupan acara dari hari Jumat hingga Minggu malam Senin. Dan setelah itu baru nonton film. Sebelum nonton film Max Havelaar ternyata diputarkan dulu film drama Saijah Adinda yang dipentaskan pada hari Jumat sore.
    Penonton pun sangat ramai ketika ditayangkan drama Saijah Adinda. Setelah selesai lalu memutar film Max Havelaar. Ketika selesai ternyata waktu sudah sangat malam. Lalu dilanjutkan film setan. Terus film Wiro Sableng yang dikenal dengan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setelah itu saya pulang ke rumah dan langsung masuk kamar terus tidur.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan #1 Sastra Multatuli—Ulang Tahun Membaca Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top