728x90 AdSpace

  • Latest News

    09 September 2011

    Catatan #2 Tentang Perjalanan Multatuli

    Ano Sumarna:
    [Kelas VI MI Al Hidayah Ciseel, Ano memerankan Babah di Rangkasbitung yang membeli keris pusaka Ayah Saijah. Selamat mencicipi lagi. ]
    Jumat, 13 Mei 2011
    Pada hari Jumat kami nonton sulap. Mas Sigit yang sulap. Dia ahli sulap. Terus berangkat ke lapangan MI. Di sana main drama. Saya menjadi Babah. Jajat menjadi Bapak Saijah. Dan semuanya. Irman menjadi Tuan waktu Saijah bekerja. Saijah ingin pulang. Tuan marah-marah. Saijah tetap pulang.
    Yani jadi Saijah kecil. Waktu dia memberi sobekan rombal. Suryati jadi Adinda kecil. Waktu ditinggalkan Saijah ke Batavia. Kami bermain drama dengan sukses dan lancer.
    Ameng jadi maung (harimau). Waktu Saijah dengan kanteh. Si Ameng lari ke kerbau. Kerbaunya mau nyeruduk. Si Ameng lari ke sisi. Terus Mbak Esther mau memoto maung itu.
    Kami kumpul ke tengah lapangan. Pak Ubai memperkenalkan kami satu per satu. Sekian hari Jumat.
    Sabtu, 14 Mei 2011
    Pada hari Sabtu saya bangun pagi terus kumpul ke rumah Kang Sarif. Tidinya Mas Sigit muncul dari rumah. Membawa pengeras suara. Suara itu di sini aku tulis: Ole…ole…ole… ole…ole…ole…ole…ole….ole. Yoga. Yoga. Yoga.
    Sampai di Cipari. Saya dan teman-teman. Yang pertama gerakan pohon. Di sini disingkat. Yang terakhir kepala di bawah. Kaki di atas. Saya mandi dengan teman-teman. Lalu pulang ke rumah. Siap-siap jalan ke Cepak Gentong. Sampai di situ pukul 07.00. Di situ kami nungguin Pak Ubai sampai pukul 07.30. Terus berangkat sampai di tungturunan Situ Badriyah banyak orang nebang pohon. Dan pohon awi itu jatuh ke jalan kami lewat.
    Terus sampai di Ciminyak mobil berhenti. Mengecek kami. Membeli air dus. Sampai di jalan, kami berhenti lagi. Pak Ubai mencari sopir mobil itu. Kami kepanasan di mobil dan kami kesal. Terus jalan lagi. Kami senang banget.
    Di jalan kami melihat beko. Beko itu dibawa oleh mobil. Mobil kami nyalip mobil yang membawa beko itu. Akhirnya kami sampai di jalan ke Rangkas. Di jalan itu kami dipegat polisi. Polisi itu membawa dua sopir. Terus Mas Daurie dan teman-temannya turun. Mas Daurie ngomong ke kepala polisi itu. Kepala polisi itu namanya Pak Sadimun.
    Terus saya berangkat lagi dengan teman-teman menuju Rangkas. Sampai di Rangkas saya makan bersama dengan teman. Seru sekali. Saya masuk ke Aula Multatuli dengan Dede, Sangsang, Azis. Saya menaiki tingkat pertama. Lantainya keramik.
    Saya menaiki ke ketiga. Itu tempat berbincang-bincang. Saya ke gedung Multatuli. Terus saya ke rumah sakit. Di belakang rumah sakit ada dinding rumah Multatuli. Zaman dulu hingga sekarang adanya dinding saja.
    Terus jalan ke Klinik Multatuli. Saya ke dalamnya dengan semangat. Dan teman-teman juga semangat. Lalu jalan lagi ke Jalan Multatuli. Itu panjangnya satu kilometer. Saya sampai di ujung Jalan Multatuli ada jembatan dua. Yang satu untuk mobil dan motor dan yang satu lagi untuk kereta api. Di jalan kereta api ada seseorang menyeberang. Itu kan bahaya.
    Di bawah jembatan itu sungai Ciujung. Warna airnya kuning. Sangat menyeramkan. Sungai Ciujung itu lebar dan di situ ada orang gila. Dia sangat galak dan dia menghadap ke air Ciujung. Dan dia mengusir kita semua. Dan kita takut dia menimpuk kita semua. Terus balik lagi ke sekolah Multatuli. Di sekolah itu ada kantin. Saya membeli 3 botol minuman dingin. Sangat sejuk. Dan saya mencuci tangan di situ. Di situ ada masjid dan kamar mandi. Kepala sekolahnya namanya Pak Jaya Sunjaya. Dia punya anak lima. Pak Jaya Sunjaya urang kampung dan ngumbara di situ. Dia punya istri dan punya anak lima.
    Saya berangkat ke perpustakaan Saijah Adinda. Kita semua di situ niis dan makan bakwan diberi oleh Mas Sigit. Mas Sigit itu baik sekali. Kalau dia naik mobil kadang-kadang dia menyanyi.
    Terus balik lagi ke Rangkas. Saya melihat lapangan basket.
    Jalan-jalan sudah sampai jam 4 sore. Saya pulang dan teman-teman kehujanan. Dan kami pun terus berjalan dengan lancer sampai di pom bensin. Mobil anu ditumpangan saya berhenti terus membeli bensin. Kami pun berjalan lagi dengan senang. Sampai di jalan saya melihat pohon kelapa sawit. Kelapa sawit banyak sekali dan rapi. Membaris ke belakang dan ke kiri dan ke kanan. Buahnya pun sangat banyak-banyak. Buahnya dibawa karena sudah dipanenin sama yang punya.
    Sampai di pasar saya membeli dua apel. Yang satu punya adik saya dan yang dua punya saya. Harga satu apel 3.000. Saya membeli 6.000. Terus ngebakso. Semangkok 5.000 saya sampai kenyang. Terus pulang sampai lapangan Cikadu. Di jalan banyak yang bilang sama kita: Mbeee….
    Sampai di lapangan Cikadu saya dan teman-teman turun dan pulang ke rumah. Cukup di sini hari Sabtu. Terima kasih.

    Minggu, 15 Mei 2011
    Saya bangun pagi. Saya mandi. Saya ganti baju dan berangkat ke Cikadu. Sampai Cikadu saya berangkat lagi ke Cepak Sawah. Saya melihat yang membawa karet terguling. Hampir saja saya kena. Dan saya berangkat lagi ke lapangan Cikadu. Di sana sudah ada mobil dua.
    Saya melihat ada yang main bola di lapangan Cikadu. Saya dan teman-teman berangkat ke Rasamala. Sampai di Ciminyak mobil berhenti. Saya membeli semangka sepasi seribu dan manisan seribu. Terus berangkat lagi. Di jalan saya melihat pohon kelapa sawit yang luas kebunnya.
    Diloncat.
    Sampai di Cijahe saya makan bersama dengan teman-teman. Saya melihat ada orang Baduy sedang memagari kebunnya. Bapak dan anak-anaknya. Saya dan teman-teman istirahat sebentar di rumah orang Cijahe dan minum air dus enak sekali. Saya berangkat ke Baduy kampungnya.
    Saya dan teman-teman melewati jembatan bambu dibuat oleh orang Cijahe. Jembatan itu kokoh dan kecil. Maju sendiri kalau berdua tidak maju. Saya berangkat lagi ke atas gunung. Di jalan kami bertemu orang membawa rumput. Mang Acang sudah tahu jalan ke Baduy.
    Kami di belakang dan Mang Acang di depan. Kami nuturkeun Mang Acang. Sedikit lagi sampai di atas. Saya dan teman-teman melihat ke bawah. Di bawah ada sungai Ciujung yang sangat licin. Saya langsung turun sampai di sungai Ciujung itu. Saya buang air besar dan Jajat, Dede, Unang, Coni.
    Kami ketinggalan. Kami berlima. Saya melihat orang sedang nutu padi. Saya terus berangkat ke sisi rumah panggung orang Baduy. Saya bertemu lagi dengan teman-teman saya. Pak Ubai ngobrol dengan orang Baduy. Dia bisa bahasa Indonesia. Kami melihat pu’un. Kami dilarang ke situ. Pu’un itu adalah ketua atau pemimpin.
    Pu’un kalau sakit seminggu dia langsung diganti. Kalau tidak diganti dia langsung mati. Yani dan Tomi keliling. Dia melewati langgaran itu. Dia di marahi dan digonggongi anjing orang Baduy. Dia lumpat ke kami.
    Kami melihat tempat numbuk padi. Dan Pak Wawan ketawa karena dia melihat kucing rebut. Kami pun pulang ke jembatan bambu buatan orang Baduy itu. Dan talinya dari ijuk. Tapi kokoh. Kami balik lagi ke Cijahe.
    Sampai di jalan kami kehujanaan. Kami berteduh di saung. Saung itu penuh sesak. Dan jalannya pun licin. Sampai di Cijahe kami kembali ke mobil. Mobil kami hampir terguling saat nanjak. Namun selamat.
    Kami sampai di Ciminyak. Saya naik motor dengan adik ibu saya. Saya datang ke rumah jam 05.55.
    Malamnya saya nonton film Max Havelaar. Seru deh. Cukup sekian.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Catatan #2 Tentang Perjalanan Multatuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top