728x90 AdSpace

  • Latest News

    22 December 2011

    Menghidupkan Kembali Multatuli

    Penulis: Christine Franciska
    Rabu, 21 Desember 2011 08:04 WIB

    Indonesia boleh merdeka selama 66 tahun. Namun, praktis, tak banyak hal berubah di Desa Sobang, Kabupaten Lebak, Banten.

    Gelap masih menyelimuti desa tiap malam. Tak ada listrik, apalagi jalan beraspal mulus seperti layaknya kota-kota besar.

    "Kalau ada orang yang sakit, enam pemuda harus menggotongnya dengan sarung dan bambu," cerita Ubaidilah Muchtar, guru SMP Negeri Satu Atap 3 Sobang.

    Ubai--panggilan akrabnya--sejak mengajar di sana pada Febuari 2009 makin mengenal bagaimana kehidupan masyarakat Lebak yang tak tersentuh oleh modernisasi. Mata pencaharian mereka kebanyakan petani.

    Anak-anak, selepas sekolah diberi tugas menggembala sapi dan kambing. "Waktu awal saya mengajar, anak-anak ini bahkan bawa golok ke sekolah karena mereka disuruh mencari kayu setelahnya," lanjut Ubai.

    Perjalanan Ubai dari rumahnya di Depok menuju sekolah pun menyajikan tantangan tersendiri. Tiap Senin, ia harus menempuh jarak 120 km dengan sepeda motor.

    Jarak itu ditempuh dengan waktu sekitar 3,5 jam. "Dua puluh kilo meter terakhir tidak ada aspal dan harus lewati tebing kedalaman 15 meter. Kalau hujan, licin sekali. Kepeleset dan motor jatuh itu sering," katanya.

    Karena perjalanan yang melelahkan itu, Ubai tak punya pilihan selain menginap di Lebak dan baru pulang ke rumah pada akhir pekan. "Kadang saya merasa hidup di dua dunia yang berbeda. Tak banyak hal berubah di Lebak sejak kita merdeka."

    Menjadi guru di desa terpencil bukanlah cita-cita Ubai. Ia bahkan tak pernah menduga lolos CPNS menjadi guru. Ia pun makin kaget saat melihat lokasi kerjanya.

    "Bulan-bulan pertama, saya sempat ingin melepas pekerjaan ini," kenangnya. Ubai mengaku sempat patah arang karena sebelum menjadi PNS pernah mengajar di sekolah swasta yang terbilang mewah.

    "Namun setelah melihat semangat anak-anak untuk belajar, saya jadi ikut semangat. Merekalah yang membuat saya bertahan," cetusnya.

    Taman baca

    Ketimbang mencela keadaan, Ubai memilih membuat perubahan. Ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah taman bacaan yang diberi nama Taman Baca Multatuli.

    Buku-buku dikumpulkan dari hasil sumbangan berbagai pihak. "Saya berharap anak-anak bisa mengisi waktu luang selepas sekolah. Karena tidak ada listrik, mereka tak memiliki hiburan. Jadi, membaca bagi mereka adalah suatu hal yang menyenangkan," jelas pria yang berusia 31 tahun ini.

    Tak hanya itu, Ubai juga mengadakan sesi grup membaca (reading group) yang diadakan tiap Selasa. Buku pilihannya ialah Max Havelaar karya penulis Belanda bernama Eduard Douwes Dekker.

    Alasannya, buku itu dinilai memiliki nilai sejarah yang lekat dengan Kabupaten Lebak. Douwes Dekker yang memiliki nama pena Multatuli pernah menjadi Asisten Residen Lebak selama 84 hari di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pengalaman itulah yang turut membuka mata Multatuli tentang ketidakadilan sistem kolonialisme di Indonesia.

    "Buku Max Havelaar merupakan buku pertama yang menjabarkan bobroknya kolonialisme. Bahkan Pramoedya Ananta Toer menjuluki buku ini sebagai buku yang membunuh kolonialisme," ujar Ubai bersemangat.

    Dengan membaca buku Max Havelaar ini, ia berharap anak-anak bisa mengenal sejarah desa mereka secara utuh, termasuk ketidakadilan yang mereka alami di zaman penjajahan.

    Lebih jauh, Ubai ingin agar anak-anak bisa memiliki kelebihan yang ada pada karakter Multatuli, yaitu kejujuran, semangat antikorupsi, dan keberanian untuk membela kaum yang tertindas.

    Selain membaca, Ubai mengasah kemampuan menulis anak-anak dengan menugasi mereka membuat catatan harian. Setahun sekali, Ubai mengajak anak-anak mengunjungi situs sejarah Multatuli dan bermain drama yang mengangkat kisah buku tersebut.

    Semua kegiatan itu disambut siswa dengan antusias, apalagi ketika pementasan drama dengan menggunakan kerbau betulan sebagai bagian dari cerita. Sayangnya, semangat anak-anak belajar sering harus berhenti di tengah jalan. Setiap habis Lebaran banyak murid perempuan yang berhenti sekolah karena menjadi pembantu rumah tangga.

    Cita-cita jadi menteri

    Mengajar dan melihat anak-anak di desa sebenarnya juga nostalgia bagi Ubai. Masa kecilnya di Subang tidak jauh berbeda dengan yang dialami anak didiknya.

    Pendidikan bukanlah hal yang diprioritaskan orangtua Ubai pada enam anaknya. Namun, Ubai kecil terus diizinkan melanjutkan bersekolah karena unggul dalam akademis. Selama SMP dan SMA, Ubai juga selalu mendapat beasiswa penuh.

    "Dulu itu cita-citanya justru mau jadi menteri pertanian, bukan jadi guru," katanya mengingat-ingat.

    Dengan bermodal nekat, Ubai lalu merantau ke Bandung untuk kuliah di IKIP Bandung dan akhirnya berhasil memberikan satu-satunya gelar sarjana pada keluarganya.

    Dengan segala hal yang ia lakukan di Desa Sobang, Ubai tidak berharap muluk selain membuka pikiran para orangtua akan pentingnya pendidikan. (M-5)

    christine@mediaindonesia.com
    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/12/285847/270/115/Menghidupkan-Multatuli-di-Lebak-Banten
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Menghidupkan Kembali Multatuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top