728x90 AdSpace

  • Latest News

    22 December 2011

    PAK GURU UBAI

    JAKARTA (Klik HL) - Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kami berenam sudah duduk manis di kereta, menunggu berangkat ke Rangkasbitung, Banten, pukul delapan persis. Menurut Ubai, kami perlu naik angkot sekali lagi, naik ojek, barulah tiba di lokasi.

    Kami bersiap di belakang motor. Pertama melewati jalan biasa, lalu jalanan bebatuan besar selebar badan motor, dengan jalan naik-turun meliuk, sangat terjal dan sangat landai. Sebelah kanan bukit tumbuhan liar, sebelah kiri sungai lebar berair deras.

    Motor memasuki wilayah semacam hutan. Dada berdebar kencang. Tangan kiri mencengkeram pegangan motor bagian belakang, keringat berleleran, sementara udara masih sejuk. Motor terus meraung-raung. Sedikit saja pengojek kurang perhitungan, motor dan penumpang akan terlempar ke dunia lain. Tak ada jalan kembali.

    Sekolah macam apa yang ada di kampung terpencil ini? Kami disambut Pak Guru Ubai. Senyumnya lebar. Seorang teman, karena begitu terkesimanya dia dengan perjalanan yang nyaris mustahil itu, membayar jasa ojek dua kali lipat. Itu ungkapan penghargaan, karena pengojek membuatku selamat selama perjalanan tadi, katanya sebagai alasan.

    Ciseel, nama kampung itu. Kampung sederhana dengan penduduk bersahaja, yang mungkin untuk bermimpi pun, tidak berani. Kampung ini terletak di atas bukit dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kampung ini belum dialiri listrik PLN, tidak ada televisi, dan saluran telepon. Sinyal telepon selular akan ditemukan setelah naik ke tempat-tempat yang tinggi.

    Dua tahun lalu, ketika Pak Guru Ubai ditugaskan mengajar anak-anak di kampung itu, hatinya ciut. Memasuki wilayah pedalaman Banten adalah seperti mimpi. Ketika berjalan selama tiga jam untuk sampai ke kampung itu, Pak Guru Ubai minum air sepuasnya, seperti tidak minum dua hari.

    Ubai berhadapan dengan senyum ramah, pasangan puluh mata bocah-bocah yang gembira dan berpakaian warna-warni khas perkampungan. Hati Ubai tersentuh melihat mereka.

    "Menjadi guru di pedalaman bukan hal mudah. Mereka perlu pendidikan. Kalau bukan saya, siapa yang akan melakukan?” kata Pak Guru Ubai ketika ditanya alasan untuk tinggal dan mengajar di tempat serba minim ini.

    Rasanya seperti hidup di dua alam. Modern dan tradisional. Minggu pertama Pak Guru Ubai tidur di lantai sekolah. Beberapa murid datang menemani tanpa diminta. Bila saatnya mudik, pulang-pergi ke desa adalah menumpang mobil sayur dari dan ke pasar, setelah itu berjalan kaki cukup panjang.

    Warga hidup sederhana. Orang dewasa kebanyakan bekerja sebagai petani dan peladang. Anak-anak menggembala kambing atau kerbau selepas sekolah. Tidak ada kegiatan lain. Malam turun lebih cepat di sini. Pukul tujuh malam hanya terdengar bunyi jangkrik, bersiap tidur. Anak-anak harus membaca buku apa saja agar bisa melihat bahwa ada kehidupan lain di luar sana, pikir Ubai.

    Lalu, Pak Guru Ubai membawakan buku bacaan koleksinya dan majalah komik dan cerita anak, sumbangan dari murid-muridnya yang kaya di kota. Anak-anak membaca dan mereka antusias mendengarkan cerita-cerita di rumah sewaan guru tersayang mereka.

    Saijah dan Adinda


    Ciseel termasuk dalam Kabupaten Lebak. Pada zaman Belanda, di wilayah ini pernah ada perkebunan kopi yang hasilnya dijual ke luar negeri. Multatuli adalah seorang Belanda yang bekerja sebagai Asisten Residen di Lebak tahun 1856. Ia menulis segala hal tentang perkebunan kopi di daerah Lebak dan praktik-praktik yang salah yang dilakukan di tempat ini, salah satunya melahirkan episode sedih Saijah dan Adinda.

    Mereka harus tahu sejarah akar mereka sendiri, batin Pak Guru Ubai. Kemudian, dia membeli dan mengumpulkan beberapa buku berjudul Max Havelaar yang ditulis Multatuli itu. Kegiatan membaca dilakukan tiap selasa sore, selepas sekolah. Anak-anak berkumpul, duduk melingkar di lantai rumah, menghadap buku masing-masing. Ubai membacakan, anak-anak mendengarkan.

    Setiap pertemuan mereka membaca 4-5 halaman. Murid mulai bertanya tentang isi cerita, tokoh-tokoh, dan memberikan pendapat mereka tentang karakter-karakter di dalam buku. Setelah itu, anak-anak bertanya tentang apa yang ingin mereka ketahui.

    Puncaknya, Pak Guru Ubai membuat naskah drama dari cerita yang telah mereka sama-sama baca. Semua anak menjadi pemainnya. Lalu Pak Guru Ubai mengundang beberapa orang luar, termasuk kami, untuk menyaksikan pertunjukan mereka.

    Drama dilakukan dalam bahasa Sunda. Para ibu, tamu luar kampung, menjadi penonton. Seorang teman merekam drama itu dalam video, menyebarkannya ke seluruh dunia. Orang di mana saja bisa melihat anak-anak kampung bermain drama Saijah dan Adinda. Dan mereka telah membuat sejarah hidup mereka sendiri.

    Kini, mata warga sederhana itu terbuka lebar, bahwa dunia ini tak seluas kampung mereka. Dan semua ini dari dimulai dari kesetiaan dan ketekunan Pak Guru Ubai untuk mengajar. Mereka hanya belum bersentuhan dengan kesempatan yang dibawa oleh seorang yang penuh keyakinan seperti Pak Guru Ubai. (Ita Siregar/KlikHeadline)

    Sumber: http://www.klikheadline.com/in/berita/berita.asp?id=news91420112149276vjvooixofcgcwr138317029
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: PAK GURU UBAI Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top