728x90 AdSpace

  • Latest News

    22 May 2012

    Merayakan 152 Tahun Max Havelaar

    “Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam sendiri.”
    Demikian kalimat terkenal dan sering dikutip yang diambil dari novel masyhur, Max Havelaar. novel Max Havelaar dikarang oleh penulis Belanda, Eduard Douwes Dekker, kemudian dikenal Multatuli. Novel Max Havelaar yang mengambil cerita pengalaman Multatuli di Lebak ini telah dibaca selama 2 tahun dalam kelompok Max Havelaar Reading Group. Kelompok baca Max Havelaar ini dilaksanakan di Taman Baca Multatuli setiap Selasa sore. Taman Baca Multauli berlokasi di Kampung Ciseel, Kecamatan Sobang, Kab. Lebak, Banten.
    Sebagai bentuk apresiasi atas umur novel tersebut yang pada tanggal 14 Mei ini tepat: 152 Tahun. Taman Baca Multatuli menggelar kegiatan bertajuk Sastra Multatuli 2012: 152 Tahun Max Havelaar, Multatuli bagi Indonesia. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari. Jumat-Sabtu, 11-12 Mei 2012. Berikut laporan kegiatan acara Sastra Multatuli 2012.
    Jumat, 11 Mei 2012
    Drama Saijah dan Adinda
    Jumat, 11 Mei 2012 pukul 14.00 WIB. Kegiatan Sastra Multatuli 2012 dengan tajuk 152 Tahun Max Havelaar: Multatuli bagi Indonesia dimulai dengan pementasan drama Saijah dan Adinda. Drama dilaksanakan di halaman Madrasah Ibtidaiyah Al Hidayah Ciseel. Drama Saijah dan Adinda dipentaskan oleh anak-anak Taman Baca Multatuli. Drama Saijah dan Adinda ini juga menggunakan kerbau sungguhan sebagai pemain.
    Drama romantis-tragis ini berkisah tentang sepasang pemuda dan gadis desa Saijah dan Adinda. Ayah Saijah dikisahkan kehilangan kerbaunya setelah dicuri oleh pemimpin Distrik Parangkujang. Demang Wiranatakusumah yang tak lain adalah menantu Adipati Lebak, Karta Nata Nagara. Saijah lantas pergi ke Batavia untuk mencari pekerjaan. Saijah pergi setelah ayah dan ibunya meninggal karena kemiskinan. Saijah meninggalkan kekasihnya Adinda. Saijah berjanji akan kembali setelah pergi selama tiga kali dua belas bulan lamanya. Adinda yang ditinggalkan diminta untuk membuat hitungan bulan dengan tanda di kepala lesung.
    Kisah Saijah dan Adinda terdapat dalam Bab 17 Novel Max Havelaar.
    Drama ini disaksikan oleh warga masyarakat Ciseel, Camat Sobang, O. Najamudin dan tamu undangan yang datang dari beberapa kota. Di antaranya: Sigit Susanto (pegiat sastra, moderator milis apresiasi sastra, dan penulis buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia) yang bermukim di Swiss. Rama Prabu dari Dewantara Institut Bandung. Heri Chandra Sentosa dari Pondok Baca Ajar, Kendal. Daurie Bintang Reborn dari Bogor. Penulis Niduparas Erlang dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang. Ali Sobri, pegiat kesenian dari Serang. Adi Prasetyo dari Kubah Budaya Serang. Boy Angky, guru SMPN 1 Muncang, Lebak. Tommas Titus Kurniawan, potografer dari Semarang. Dian Hardiana dan Fifi dari Pandeglang. M. Nofal Kurniawan dari Jakarta. Ariv Yudi dari Laskar Cinta Pustaka, Semarang.
    Usai drama, para pemain berfoto bersama dengan camat Sobang dan peserta tamu. Acara dilanjutkan dengan sulapan dari Daurie Bintang Reborn. Acara sulapan ini masih di lapangan MI Al Hidayah Ciseel. Sulapan yang ditampilkan merupakan sulapan ilmiah.
    Sore hari selepas makan. Peserta diajak untuk melihat tanah yang akan dibangun Taman Baca Multatuli. Selama ini, Taman Baca Multatuli menempati rumah milik ketua RT 02 Ciseel. Rumah dengan ukuran 5x3 meter yang dikontrak tiap bulan dan dijadikan sebagai taman baca.
    Kesenian Lesung dan Pencak Silat
    Malam harinya, kegiatan Sastra Multatuli berpindah ke sebuah panggung yang terletak di samping Taman Baca Multatuli. Kegiatan malam hari dibuka dengan petasan dan kembang api. Sebelumnya, sesepuh Ciseel, Bapak Barnas membuka acara. Dilanjutkan dengan ucapan selamat datang oleh pengelola Taman Baca Multatuli, Ubaidilah Muchtar. Kegiatan selanjutnya diisi dengan sulapan oleh Sigit Susanto. Selesai sulapan, pembacaan puisi Saijah untuk Adinda yang dibacakan dalam 6 bahasa mengisi panggung. Keenam bahasa yang dimaksud, yaitu Belanda, Jerman, Italia, Inggris, Indonesia, dan Sunda. Pembacaan puisi ini dilakukan oleh Siti Nurajizah (16 tahun), Mariah (15 tahun), Rukanah (14 tahun), Rohanah (16 tahun), Nurdiyanta (17 tahun), dan Siti Nurhalimah (16 tahun). Masih pembacaan puisi oleh Irman (13 tahun). Irman membacakan puisi berjudul “Lihatlah Bajing” karya Multatuli. Puisi yang dibawakan sangat apik oleh Irman.
    Ada juga pembacaan catatan perjalanan menyusuri jejak Multatuli di Lebak, Banten. Catatan kegiatan ini diambil dari buku Rumah Multatuli: Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli. Semakin malam kegiatan makin meriah dengan kesenian memukul lesung yang disebut gegendeh. Kesenian memukul lesung ini ditampilkan oleh ibu-ibu warga Ciseel. Setelah gegendeh, waktunya pencak silat. Pencak silat ditampilkan oleh anak-anak Ciseel yang tergabung dalam rombongan Kendang Penca Paku Lumejang. Selesai pencak silat, tetangga Kampung Ciseel, Cangkeuteuk. Menampilkan atraksi debus. Acara malam pertama ditutup dengan suguhan dangdut hampir tengah malam.      
    Sabtu, 12 Mei 2012
    Bertandang Ke Baduy Dalam
    Pagi sekali anak-anak Taman Baca Multatuli dan peserta tamu acara Sastra Multatuli bergegas meninggalkan kampung Ciseel. Tujuannya yaitu Lapangan Rasamala di Kampung Cikadu. Mereka menuju ke tempat pemberhentian truk yang akan membawa mereka ke kampung Baduy Dalam di pedalaman Kabupaten Lebak. Jalan kaki dari Ciseel menuju Rasamala ditempuh satu jam. Keringat bercucuran. Jalan terjal dan menanjak tak menjadi halangan. Matahari panas membakar. Tiba di lapangan Rasamala, para peserta langsung mengisi dua buah truk yang telah menunggu. Perjalanan pun dimulai.
    Jalur perjalanan yang akan kami lalui yaitu Kampung Cijahe di Kecamatan Cirinten. Cijahe merupakan pintu masuk ke perkampungan Baduy Dalam selain Ciboleger dan Cilebang. Truk melaju membelah jalanan beraspal yang terkadang mulus dan berlubang. Beberapa pemuda Ciseel menguntit truk dengan sepeda motor. Kami melalui Ciminyak, Pasir Nangka, Cisimeut, Leuwi Damar, Ciboleger, dan Cirinten. Perjalan dengan truk berlangsung selama dua jam. Beberapa anak mabuk kendaraan.
    Tiba di Cijahe. Truk diparkir di depan rumah Jaro Asep, Jaro Cijahe. Terpal warna biru digelar. Makanan bekal pun dibuka. Anak-anak membuka perbekalan yang dibawa. Nasi dan lauknya. Peserta tamu membuka nasi timbel 5 buah sebesar buah kelapa. Goreng jengkol, ikan asin, telur balado, sambal, dan tempe jadi menunya. Peserta semuanya makan.
    Usai makan, Sigit Susanto dan Rama Prabu memberikan tips seputar penulisan catatan. Ya, anak-anak yang mengikuti kegiatan ini akan membuat catatan perjalanan. Selesai pengarahan para peserta menyiapkan bekal air minum. Waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB. Kami berjalan dalam rombongan besar sejumlah 60 orang memasuki tanah Baduy Dalam. Perjalanan kami kali ini ke Cibeo dan Cikartawana. Sedangkan Kampung Cikeusik telah kami kunjungi setahun yang lalu. Jembatan kayu menjadi batas. Tanah merah dengan semak dan pepohonan yang tidak terlalu tinggi menyambut kami. Matahari terik memanggang para peserta.
    Kampung Baduy Dalam tujuan pertama kami, yaitu Cibeo. Perjalanan panjang antara Cijahe dan Cibeo dilalui dengan senang. Anak-anak berjalan cepat. Di sungai Ciparahiang kami istirahat. Mencuci muka dan kaki. Batu-batu besar menjadi tempat kami duduk. Air sungai Ciparahiang dingin dan jernih. Perjalanan dilanjutkan. Kami tiba di Cibeo. Jembatan bambu menjadi pintu masuk. Pohon-pohon besar dan rumpun bambu memagari Cibeo. Cibeo, perkampungan warga Baduy Dalam. Rumah berjajar dalam bentuk dan bahan yang sama. Kebersamaan yang luar biasa. Anak-anak bermain dalam balutan pakaian yang sama. Di pinggang mereka terselip golok. Di kepala, ikat kepala menambah wibawa. Ayam betah di kolong rumah. Perkampungan Cibeo bersih dan rapi. Batu kali menghiasi gang di antara rumah. Sebuah lapangan dengan rumput hijau di ujung deratan rumah. Asri. Tempat menumbuk padi di tepi sungai.
    Beberapa orang ronda sedang bertugas. Pak Acang sebagai pemandu memperkenalkan kami. Warga Cibeo ramah dan pandai berbahasa Indonesia. Rumah di Cibeo ada 89 unit jumlahnya dengan 130 kepala keluarga. Beberapa peserta mencatat. Sedangkan yang lain bertanya kepada warga yang sedang duduk di bale-bale. Asap mengepul di tungku api di depan salah satu rumah. Sedangkan di rumah yang lain, beberapa wanita dan laki-laki sedang menganyam kiray. Kiray dianyam untuk dijadikan atap rumah mereka. Ada yang membersihkan bambu untuk dijadikan tali. Ada yang merapikan daun kiray. Ada pula yang bertugas menjemur dan merapikan kiray yang sudah siap dipakai.  
    Selanjutnya peserta berpencar. Ada yang terus melanjutkan obrolan dengan warga. Sebgaian menawar barang yang jadi oleh-oleh seperti ikat kepala, gantungan kunci, gelang, tas dari kulit kayu, kain tenun, dan alat penghisap rokok. Sebagian lagi menikmati sungai di belakang pemukiman warga Cibeo. Mandi di sungai dengan airnya yang dingin dan jernih. Di bawah jembatan bambu.  Bebatuan besar dan pohon rindang menjadi pemandangan tambahan. Ada pula yang menyaksikan ibu-ibu dan gadis Cibeo yang sedang menumbuk padi di lesung.
    Pukul 15.00 kami meninggalkan Cibeo. Warga Cibeo baik hati memberi kami buah kokosan. Kami menyusuri jalan yang kami lalui sebelumnya. Tepat setelah menyeberangi sungai Ciparahiang kami berbelok. Tujuan kedua, Kampung Cikartawana. Di Cikartawana kami tak lama. 15 menit saja. Hampir seluruh warga Cikartawana sedang di ladang. Cikartawana nyaris ditinggalkan semua warga. Hanya menyisakan Ayah Sali yang sedang bertugas sebagai ronda di kampung. Setelah bertanya dan para peserta mencatat. Akhirnya kami memulai perjalanan pulang. Perjalanan menuju Kampung Cijahe.
    Truk membawa kami kembali ke Lapangan Rasamala. Matahari sudah tenggalam. Gelap menyergap kami di jalan menurun menuju Cikadu. Di jembatan gantung Cikadu sebagian peserta dijemput dengan sepeda motor. Panggung malam kedua menanti.
    Puisi “Ibu” Layar Tancap
    Pembacaan puisi “Ibu” karya Multatuli yang ditulis saat bertugas di Padang membuka malam kedua acara Sastra Multatuli. Puisi ini dibacakan dengan menawan oleh Cecep Nurkholis (13 tahun). Selanjutnya pembacaan puisi oleh Adi Prasetyo dari Kubah Budaya Serang dan pembacaan cacatan perjalanan tahun 2011 oleh Sigit Susanto dan Niduparas Erlang.  Ibu-ibu dan bapak-bapak warga Ciseel kemudian tampil ngagondang. Ngagondang adalah kesenian rakyat berupa tarian dan nyanyian yang dibawakan secara bersama-sama. Selanjutnya hiburan qasidah oleh Group Qasidah Ciseel.
    Sebelum pemutaran film, Pak Kosim menutup acara dengan memukul kentongan. Acara dilanjutkan dengan pemutaran film di antaranya: Semangat Menembus Batas (Dokumenter MetroTV), Garuda Di Dadaku, Rhoma Irama, dan Wiro Sableng hingga pukul lima pagi.  
    Sampai jumpa di 153 Tahun Max Havelaar tahun depan.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    1 komentar:

    Item Reviewed: Merayakan 152 Tahun Max Havelaar Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top