728x90 AdSpace

  • Latest News

    02 March 2014

    Manusia Multatuli


    Oleh Ubaidilah Muchtar

    Pada tanggal 4 Januari 1839 tiba di Batavia seorang pemuda Belanda. Ia datang dengan kapal Dorothea. Setelah pelayaran yang menyita waktu tiga belas minggu lebih. Kapal itu berangkat 23 September tahun sebelumnya. Pemuda itu yang kemudian hari terkenal sebagai Multatuli, dia yang banyak menderita, alias Eduard Douwes Dekker.

    Ayahnya bernama Engel Dekker, nakhoda kapal. Sytske Eeltjes Klein: Eduard, ibunya. Engel Dekker, agaknya seorang yang suka berkelakar dan pandai berbicara. Seorang nakhoda yang tegap, yang cepat membahasakan orang dengan “jongetje”, buyung. Ia biasanya tidak di rumah, seperti lazimnya kapten kapal.

    Sytske, pembawaannya agak gugup. Dia cepat tangan ringan kaki, kata orang.

    Multatuli lahir di sebuah rumah, di jalan sempit, di Korsjespoortsteeg, di Amsterdam. Multatuli anak keempat atau sebenarnya anak kelima. Saudaranya, Antje, lahir di tahun 1818 dan hanya hidup dua belas hari. Saudara-saudara lainnya bernama Catharina (1809-1849), Pieter (1812-1861), dan Jan (1818-1864). Sesudah Multatuli masih lahir seorang lagi di tahun 1832, yaitu Willem. Multatuli sendiri lahir, 2 Maret 1820. Hari ini tepat usianya 194.

    Multatuli dibesarkan dalam suatu keluarga yang sederhana. Multatuli kecil banyak menimbulkan kesukaran karena wataknya yang gelisah dan ‘sukar’. Willem Frederik Hermans dalam Multatuli yang Penuh Teka-Teki (1988) mencatat, “ketika ia dimasukkan sekolah dasar orang cemas dengan daya pikirnya, seperti yang sering terjadi pada anak-anak yang terlalu cerdas”.

    Orang tua Multatuli berharap ia menjadi pendeta. Maka selepas Sekolah Dasar, ia masuk Sekolah Latin di Singel. Di bulan Maret 1832 ia menulis namanya dalam album sekolah: Eduard Douwes Dekker, nama rangkap.

    Tidak dijelaskan mengapa ia meninggalkan Sekolah Latin setelah belajar dua atau tiga tahun. Ia mengatakan bahwa ia senang di sekolah tersebut dan tidak terlalu bodoh untuk mengikuti pelajaran. Ia tidak enggan melakukan olahraga untuk kaum laki-laki seperti meluncur di atas es dan ia tidak segan-segan berkelahi. Ia selalu tampil membela yang lemah dan terinjak-injak. Ia menolong menyelamatkan topi pet yang diterbangkan angin milik seorang anak Yahudi yang tidak seorang pun mengacuhkannya. Ia bahkan pernah ingin pergi ke Yunani untuk berjuang buat orang Yunani dalam perang kemerdekaan mereka melawan Turki. Tapi perdamaian ditandatangani ketika ia berusia dua belas tahun. Ia terlambat lahir!

    Di usianya yang kedelapan belas, ia kemudian menjadi pegawai kecil pada firma tekstil Van de Velde, di persil Singel 134. Ia minta berhenti bekerja setelah tiga tahun bekerja. Kekasihnya yang pertama bernama Louis. Dan itu sama sekali bukan kekasihnya yang terakhir.

    Eduard sudah sejak dini secara impulsif bisa jatuh kasihan kepada orang yang lemah dan orang cacat, bahwa ia berani melawan ketidakadilan, bahwa hatinya mudah terbakar dan bahwa ia cenderung terlibat dalam kesulitan-kesulitan keuangan.

    Sebagai pemuda 18 tahun Multatuli bekerja pada Pemerintah Belanda, yakni pada Dewan Pengawas Keuangan di Batavia. Ia cakap untuk pekerjaannya. Di masa pertama ia menjadi amtenar (pegawai pemerintah) ini ia mengalami guncangan batin sebab terputusnya hubungan dengan Caroline Versteegh. Penyebabnya karena dianggap oleh orang tua si gadis calon suami yang kurang serius dan lamarannya ditolak.

    Tahun 1842 Multatuli dipindahkan ke Sumatra Barat. Bulan Juli 1842 Douwes Dekker ditempatkan sebagai kontelir di Natal, suatu jabatan yang bukan saja meminta segala tenaga kerjanya, tapi yang juga buat pertama kali membawanya berhadap-hadapan dengan penderitaan penduduk.

    Drs. G. Termorshuizen dalam Pendahuluan novel Max Havelaar (1973) mencatat: Menarik perhatian reaksinya yang hampir spontan terhadap penderitaan penduduk itu, berupa pendirian yang pada hakekatnya akan menentukan tindakannya dalam ‘perkara Lebak’ 13 tahun kemudian. Dalam suatu laporan tanggal 21 Maret 1843 ia menulis: ‘Saya kira orang sedikit saja atau sama sekali tidak bekerja, baik di kebun-kebun lada maupun di sawah-sawah, tapi saya kira pula (……) bahwa yang menjadi sebabnya ialah tenaga yang patah oleh tiada bekerja (……). Haruslah diberikan gambaran masa depan yang lebih menyenangkan bagi pekerja, harapan masa depan yang lebih menggembirakan dan dalam hal ini baiklah dimulai dengan memberinya makanan yang cukup.’

    Natal adalah dukacerita yang pertama dalam hidup Multatuli sebagai amtenar. Di bulan Juli 1843 ia dipecat oleh jenderal Michiels, atasannya. Setelah di Natal, ia perbantukan kepada residen Padang Hulu. Setelah dari Padang, berturut-turut ia bertugas di Purwakarta, Karawang, Purworejo, Manado dan di musim gugur 1851 ia menjadi asisten residen Ambon, tapi tidak lama karena sakit keras.

    Sewaktu tinggal di Purworejo, dua tahun lebih ia di sana, Eduard Douwes Dekker hidup dengan miskin tapi jujur. Rochussen, gubernur jenderal mengunjunginya dan Dekker adalah satu-satunya pejabat yang tidak menerangi rumahnya karena tidak punya uang untuk itu.

    Atasannya, residen Bagelen, Von Schmidt auf Altenstadt, menyebutkan dalam daftar kecakapannya bahwa kelakuan dan cara hidupnya baik, ia banyak kepandaiannya, rajin, hormat, tapi bebas dalam sikapnya.

    Tanggal 10 April 1846 bagi Dekker adalah tanggal kebahagian. Dekker menikahi Everdine Huberte van Wijnbergen, yakni Tine—pahlawati—dalam Max Havelaar. Dekker dan Everdine menikah di Cianjur.

    Pagi-pagi jam sepuluh ada keramaian yang tidak lazim di jalan besar yang menghubungkan daerah Pandeglang dengan Lebak.

    Demikian kalimat pertama dalam Bab V novel Max Havelaar. Hari itu 21 Januari 1856. Dekker tiba dengan keluarganya di Rangkasbitung, ibukota Lebak. Di hari itu juga Dekker  mengucapkan sumpah jabatan. Dekker berjanji bahwa ia “akan melindungi penduduk Bumiputera terhadap penindasan, penyiksaan, dan penganiayaan”. Dekker diangkat sebagai asisten residen Lebak. Keesokan harinya, ia mengucapkan pidato yang ditujukan kepada kepala-kepala Lebak. Lebak daerah miskin dan bahwa penduduknya dihisap oleh bupati dan kepala-kepala (bawahan)nya.

    Multatuli bertugas menjadi asisten residen di Lebak selama tiga bulan dari 21 Januari 1856 sampai 29 Maret 1856. Atasannya, residen Banten Brest van Kempen dan gubernur jenderal Duymaer van Twist. Gubernur jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist memasuki sejarah sebagai ‘gubernur jenderal yang dimaki-maki Multatuli.’ Karena itu ia sekaligus menjadi gubernur jenderal paling masyhur yang pernah memerintah ‘Hindia Timur Belanda’.

    Baiklah, pembaca, saya cukupkan sampai di sini saja tentang Dekker! Tentang novel masyhur Max Havelaar.

    Selanjutnya saya ingin menuliskan manusia-manusia Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan Multatuli, dengan Max Havelaar. Anda, tentu saja, saya percaya telah membaca Max Havelaar! Namun saya akan menceritakan Kartini, Pramoedya Ananta Toer, R.T.A. Sunarya, H.B. Jassin, Y.B. Mangunwijaya, dan Asep Sambodja.

    Baiklah, saya coba sampaikan satu demi satu!

    Kartini memiliki kesamaan dengan Multatuli. Mereka sama-sama menulis. Meski Kartini tidak menulis novel. Ia menulis surat-surat. Kartini sadar bahwa penduduk Jawa dianiaya. Kartini telah melanjutkan apa yang dirintis Multatuli. Kartini menyadari bahwa pangkal kesengsaraan yang membelit bangsanya adalah kolonialisme. Kartini dengan gigih melawan kolonialisme.

    Kartini mengetahui Max Havelaar. Kartini begitu tergugah ketika membaca Max Havelaar. “Max Havelaar aku punya,” katanya, “karena aku sangat, sangat suka pada Multatuli.” Demikian  Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Panggil Aku Kartini Saja (2010).

    Pembaca, kurang afdal jika menulis Multatuli tak menyertakan Pramoedya Ananta Toer. Ya, Pram! Bagaimana hubungan Pram dengan Multatuli. Orang Kiri dari Lereng Merapi pernah menuliskannya secara mendalam dalam esai, “Denyar Max Havelaar di Bumi Manusia (Sebuah Percobaan Mengenal Dua Sosok: Multatuli dan Pramoedya)”.

    Pramlah yang terus mendengung-dengungkan Multatuli. Dalam esainya, Multatuli, Sebuah Kenangan. Pram mengakui bahwa di masa awal tahun 1930-an ia mulai mengenal Multatuli. Pram pertama-tama kaget mengetahui Multatuli sebagai orang Belanda. Akan tetapi semakin lama semakin timbul penghormatannya.

    Pram menulis, “Dari bacaan itu dapat kusimpulkan: semua nasionalis barisan terdepan pernah mempelajari, bukan sekadar membaca: Multatuli. Dia tonggak awal dalam sejarah Indonesia yang menampilkan seseorang yang membela rakyat kecil dari kejahatan cultuurstelsel klasik van de Bosch. Yang memberikan keberanian, kelugasan, kecerahan, dan hidup mudanya pada perlawanan terhadap kerakusan para pembesarnya sendiri, para pembesar sebangsa sendiri. Yang memberitahukan, bahwa sampai Raja Belanda pun, dapat dihimbau, bahwa kepala desa, kepala distrik sampai Gubernur Jenderal bukan pagar-pagar kekuasaan yang tak tertembusi oleh daya tulisan dan daya cetak. Dia yang mengajarkan bagaimana tumbuh, berkembang, lurus ke atas, dengan integritas tetap utuh, tidak mondar-mandir dan berpusing dalam lingkaran setan.”

    Pram menganggap bahwa Multatuli adalah penyadar. Pram bahkan pernah mengusulkan untuk membangun patung Multatuli. Pram beralasan:

    “Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.”

    Multatuli banyak sekali jasanya bagi Indonesia. Menurut Pram dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008) bahwa seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli, tidak akan mengenal humanisme:

    “Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal arti humanisme, humanitas secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus yang kejam. Pertama, karena dia tidak kenal sejarah Indonesia, kedua karena dia tidak mengenal perikemanusiaan, humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam.”  

    Pram juga pernah menerjemahkan Max Havelaar, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di Bintang Timur. Namun sayangnya terjemahan Pram atas Max Havelaar ini belum dibukukan. Semoga dapat kita nikmati. Itulah Pram!

    Multatuli pernah menulis dalam Max Havelaar bahwa jika orang tidak percaya padanya. Jika anggota dewan tidak juga mau memperbaiki keadaan di tanah Jawa. Maka ia akan menerjemahkan bukunya ke dalam berbagai bahasa.

    “Maka akan kuterjemahkan bukuku dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Alifuru, Bugis, Batak ……” (Max Havelaar, hal. 348)

    Dua orang di antara yang berhasil merealisasikan kalimat Multatuli itu tak lain adalah R.T.A. Sunarya dan H.B. Jassin. Nama pertama, R.T.A. Sunarya adalah penerjemah kisah Saijah dan Adinda yang terdapat dalam Max Havelaar ke dalam bahasa Sunda. Terjemahan R.T.A. Sunarya atas kisah Saijah dan Adinda pertama kali terbit tahun 1932 oleh Bale Pustaka.

    Cetakan kedua Saija terjemahan R.T.A. Sunarya ini dilakukan oleh Kiblat Buku Utama (Januari 2003). Dalam Panganteur, R.T. A Sunarya menulis:

    “Wekasan serat, ieu carita Saija ku simkuring henteu disalin saceplakna sakecap-sakecap, tapi “disundakeun”. Nu dipambrih, sangkan leuwih sumerepna kana rasa Ki Sunda, katuang, babakuna ku batur jenuk balarea di desa-desa.

    Ku sabab eta rea kecap jeung iketan nu dirobah, malah ngaran asal Saijah oge, dicoret “h”na, sabab nu maeh kana eta aksara, ilahar ngaran awewe. Ngaran Adinda diganti ku “Ina” nenehna tina “Adina” nu memper kana harti Adinda.

    Tapi mungguh jejerna, galur ieu carita, saeutik oge henteu nyimpang tina asal.”

    Kita dapat membaca Max Havelaar dalam bahasa Indonesia adalah karena H. B. Jassin. Ya, H.B. Jassin yang menerjemahkan Max Havelaar. Diterbitkan pertama kali tahun 1972 oleh penerbit Djambatan dengan judul: Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Cetakan pertama Max Havelaar diberi Kata Pengantar oleh Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. kala itu. Juga ada Sepatah Kata dari Duta Besar Keradjaan Belanda, Hugo Scheltema. Penerbitan Max Havelaar ini merupakan bantuan subsidi pemerintah Belanda.

    Sementara di cetakan kedua Max Havelaar (1973) dalam Kata Pengantar tercatat:

    “Cetakan pertama buku Max Havelaar dalam bahasa Indonesia ini terbit pada bulan Juni 1972. Di luar dugaan dalam beberapa bulan saja karya Multatuli ini habis terjual. Mungkin antaranya karena pengarang tersebut mempunyai arti yang khusus bagi bangsa Indonesia. Dan karena edisi pertama itu disubsidi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, sehingga harganya yang murah melancarkannya sampai ke kalangan pembaca yang lebih luas……

    Dalam pada itu penerjemahnya, H.B. Jassin dapat undangan untuk berkunjung ke negeri Belanda kuranglebih setahun, telah dianugerahi Hadiah Martinus Nijhoff untuk tahun 1973 yangdiberikan oleh Prins Bernhard Fonds atas karya terjemahan Max Havelaar ini.”

    Djambatan menerbitkan Max Havelaar hingga cetakan kesembilan tahun 2005. Dengan edisi khusus pelajar pada cetakan ketiga (1974).

    Multatuli adalah salah satu faktor dalam pembentukan para intelektual Indonesia. Salah satunya, Y.B. Mangunwijaya. Dalam Para Tokoh Angkat Bicara: Buku 3 (1996), yang merupakan kumpulan wawancara. Y.B. Mangunwijaya dalam “Saya Tak Mau Jadi Godfather” pewawancara Tuti Indra Malaon dan Drigo L.Tobing, ketika ditanyakan siapa penulis favoritnya, ia menjawab:

    “Kalau novel, gimana ya? Pramoedya Ananta Toer. Tapi guru saya yang pertama sebetulnya Multatuli. Max Havelaar.”

    Saya yakin bahwa banyak penulis Indonesia membaca Max Havelaar. Salah satunya, Asep Sambodja. Asep Sambodja meyakini bahwa banyak sastrawan yang terpengaruh oleh Multatuli. Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an mencatat:

    Multatuli alias Eduard Douwes Dekker yang menulis buku Max Havelaar (1960) juga memengaruhi sastrawan revolusioner Indonesia. “Kalau bukuku diperhatikan dengan baik, dan disambut dengan baik, maka tiap sambutan baik akan menjadi kawanku menentang pemerintah,” tulis Multatuli.

    Multatuli telah tiada. Namun karyanya tetap dibaca. Seperti kehendaknya, “Ya, aku bakal dibaca!”

    Selamat ulang tahun, Max!***

    Pondok Petir, 1 Maret 2014
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Manusia Multatuli Rating: 5 Reviewed By: mh ubaidilah
    Scroll to Top